Corak Pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah
Corak pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah dipengaruhi oleh model Persia. Aspek hirarkis tertentu budaya politik Islam memang berkaitan dengan model Persia, terutama tentang martabat raja, terlebih sejak abad ke-4 H/ke-10. Bahkan telah terjadi akulturasi timbal balik dengan pengaruh yang lebih luas dan mendalam antara Islam dan budaya Persia. Akulturasi timbal balik itu meliputi beragam aspek, mulai dari pemerintahan sampai stratifikasi sosial. Dalam bab ini akan dibahas tentang bagaimana bentuk negara dan pemerintahan, sistem administrasi pemerintahan, dan militer yang dibangun berdasarkan hasil akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya Persia.
Jika kita telusuri kembali tentang bagaimana bentuk negara dan pemerintahan dalam Islam sejak masa Rasulullah Saw. sampai pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah ini, maka kita akan dapati beberapa perbedaan bentuk antara satu periode dengan periode lainnya. Paling tidak terdapat empat bentuk negara dengan cirri-ciri khas masing-masing. Bila diurutkan Periodenya, maka akan kita dapati sebagai berikut:
Dengan membahas tentang bentuk-bentuk negara di atas, akan kita dapatkan gambaran, ciri-ciri dan perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Nabi Muhammad Saw. telah menciptakan sebuah pemerintahan lokal baru di Madinah al-Munawwarah yang didirikan atas dasar pandangan kenabiannya. Tidak lama setelah itu pemerintahan tersebut mencapai dimensi internasional yang berjangkauan jauh. Dengan cepat ia menjadi kekuatan yang bersaing di Arabia bukan hanya dengan kaum Quraisy di Mekah, tetapi juga dengan kekaisaran Byzantium dan Sasania. Yang dimaksud dengan pemerintahan lokal ini adalah pemerintahan kota Madinah atau negara Madinah. Karena pada saat itu dalam diri Nabi Muhammad saw. terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan temporal (duniawi). Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara dan agama. Cukup sulit untuk menentukan secara pasti istilah apa yang cocok untuk penamaan bentuk negara di masa Nabi Muhammad Saw. Karena sumber yang ada hanya menyebutkan Negara Madinah. Sistem kontrak sosial dalam negara dengan melindungi kaum minoritas seperti yang dipraktikkan Rasulullah sebenarnya telah ada sejak zaman pra-Islam.
Namun, hal itu kemungkinan besar adalah suatu kepanjangan dari kebiasaan gurun di mana suatu kabilah yang kuat akan memberikan perlindungan pada kabilah atau kelompok yang lebih lemah dengan imbalan tertentu. Negara pada masa hidup Nabi Muhammad Saw. sampai berakhirnya periode Dinasti Bani Umayyah pada dasarnya adalah suatu federasi kabilah-kabilah Arab. Ini terlihat dari kenyataan bahwa dalam dokumen yang disimpan Ibn Hisyam sebagai Piagam Madinah (Konstitusi Madinah) memuat pihak-pihak utama yang melakukan perjanjian (kontrak sosial), yaitu delapan kabilah Arab Madinah dan Muhajirin Quraisy dari Mekah. Maka menurutnya kesatuan politis di Madinah, walau pihak-pihak utamanya adalah umat Islam yang percaya kepada Allah Swt. dan mematuhi perintah-perintah-Nya, secara politis dilahirkan sebagai federasi klan-klan atau kabilah-kabilah Arab. Secara prinsip bentuk negara Madinah itu pada hakekatnya lebih mirip dengan negara kota (city state) yang berbentuk republik. Di mana Rasulullah Saw. bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Nama lain untuk bentuk negara di masa Rasulullah Saw. ini adalah Kerajaan Tuhan (Kingdom of God) atau dalam istilah lain biasa disebut teokrasi atau teo-demokrasi. Sebuah sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi ilahi (divine), dan seluruh umat Muslim menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw.
Sistem teokrasi atau teo-demokrasi yang dibangun umat Islam berbeda dengan sistem teokrasi yang pernah dianut negara-negara Eropa dahulu. Karena di negara-negara Eropa tersebut pemerintahan dikuasai sekelompok pendeta yang memiliki kekuasaan secara dominan dan tak terbatas. Sehingga dalam menegakkan hukum-hukum negara yang mengatasnamakan Tuhan seringkali hanyalah merupakan tafsiran mereka sendiri yang dipaksakan kepada rakyat.
Pada masa pemerintahan Sahabat atau (al-Khulafa ar-Rasyidin/Khilafah Rasyidah) yang berarti khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk Tuhan, penamaan bentuk negara tidak mengalami perubahan, hanya sistemnya disebut khilafah. Ciri-ciri utama sistem ini adalah para khalifah betul-betul mengikuti teladan Rasulullah Saw. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Meskipun mekanisme pemilihan keempat khalifah itu masing-masing berbeda antara satu dengan lainnya, tetapi semuanya lebih mendahulukan proses musyawarah.
Pada periode ini istilah pemimpin atau kepala negara mengalami sebutan yang berbeda tetapi substansinya sama. Abu Bakar as-Siddiq misalnya, menyebut dirinya sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah Saw. dalam urusan kepemimpinan umat dan bukan pengganti urusan kenabiannya. Pernyataan ini berarti mempertegas status Abu Bakar as-Siddiq hanya sebagai wakil dari Rasulullah. Sementara Umar ibn al-Khaththab menyebut dirinya sebagai khalifah (pengganti) daripada khalifah Rasulullah (penggantinya Rasulullah) yaitu Abu Bakar as-Siddiq. Selain itu Umar juga memakai istilah amir almukminin (pemimpin orang-orang yang beriman) sebagai ganti daripada istilah malik (raja). Istilah amir al-mukminin dan malik sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu sebagai pemegang otoritas kekuasaan yang tertinggi. Tetapi masyarakat Arab pada saat itu lebih familier dan terbiasa dengan istilah amir al-mukminin dibandingkan dengan malik. Sedangkan Ali ibn Abi Thalib lebih suka memakai gelar imam yang memiliki arti pemberi petunjuk umat dalam urusan dunia dan agama. Tetapi untuk membedakan dengan imam salat (alimamah as-sugra) ia menggunakan istilah al-imamah aluzhma atau al-kubra (kepemimpinan tertinggi). Istilah-istilah khalifah, amir al-mukminin, dan imam merupakan istilah terpenting sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah Saw.
Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah penamaan bentuk negara tetap tidak mengalami perubahan yaitu khilafah. Tetapi konsep khalifah sebagai kepala negara mengalami perubahan yaitu raja. Hal itu dikarenakan pemerintahan yang dulu bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun-temurun). Perbedaan antara Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah secara prinsip terletak pada corak pemerintahannya. Dinasti Bani Umayyah yang bercorak Arab menerapkan pemerintahan yang sentralistik. Sedangkan Dinasti Bani Abbasiyah yang bercorak campuran antara Arab dan non-Arab (Persia dan Turki) menerapkan pemerintahan yang desentralistik. Sistem monarkhi absolut yang diterapkan Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah ini sebenarnya mencontoh monarchi Persia dan Byzantium. Namun, pendapat lain mengatakan hanya Dinasti Bani Abbasiyah yang mencontoh tradisi Persia. Di sini istilah khalifah bukan sebagai pengganti atau wakil Rasulullah Saw. tetapi sebagai khalifah Allah atau wakil Tuhan di muka bumi yang didasarkan pada nash Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 30. Menurut tradisi Persia dalam diri raja terdapat hak raja yang suci atau hak ketuhanan dalam dirinya (The divine right of kings) dan orang yang menentangnya berarti ia telah keluar dari ketentuan agamanya.
Akibat sistem pemerintahan yang desentralistik, di masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah muncul kekuasaan politik yang menyerupai kekuasaan negara atau negara dalam negara yaitu pemerintahan Bani Buwaihi yang berkebangsaan Persia dan Bani Saljuq yang berkebangsaan Turki. Menurut teori politik modern, kekuasaan politik yang telah dicapai Bani Buwaihi dan Bani Saljuq sebenarnya sudah pantas disebut sebagai sebuah negara. Hal itu dikarenakan Bani Buwaihi dan Bani Saljuq berbeda dengan dinasti-dinasti lain yang juga memerdekakan diri secara politik (bukan teritorial/separatis) dari Dinasti Bani Abbasiyah. Mereka masih mengirim upeti kepada khalifah di Bagdad sebagai tanda pengakuan terhadap kepala negara. Tetapi tidak demikian halnya dengan Bani Buwaihi dan Bani Saljuq, kedua Dinasti ini telah memenuhi syarat-syarat berdirinya sebuah negara yang empat, yaitu:
Hanya satu yang tidak dimiliki Bani Buwaihi dan Bani Saljuq yaitu legitimasi (pengakuan) secara syari'ah sebagai khalifah. Dalam sistem sosial-politik apa pun, legitimasi adalah masalah yang sangat fundamental.
Dalam penamaan bentuk negara untuk kasus Bani Buwaihi dan Bani Saljuq ini, para sejarawan tidak menyebutnya secara eksplisit tetapi hanya coraknya saja. Misalnya hanya menyebut “Kemaharajaan” Buwaihi (The Buyid Kingdom) dan “kemaharajaan” Saljuq (The Saljuqid Kingdom) atau Konfederasi Bani Buwaihi (The Buyid Confederation). Kedua istilah tersebut, kingdom dan confederation merupakan nama untuk sebuah negara di zaman modern ini. Sebagai contoh United Kingdom (UK) untuk Kerajaan Inggris dan Konfederasi Republik Sosialis Uni Sovyet (USSR) sebelum terpecah-pecah.
Sepanjang sejarah Dinasti Bani Abbasiyah sistem administrasi pemerintahan (al-wizarah) mengalami beberapa kali perubahan fungsi. Paling tidak terjadi tiga kali perubahan fungsi.
Pertama, pada masa awal pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah I (132-232 H/750-846 M) peranan wazir (perdana menteri) sangat besar dalam urusan mengatur jalannya roda pemerintahan, bahkan status wazir saat itu hampir sederajat dengan khalifah. Karena khalifah seringkali dalam beberapa hal menyerahkan urusan pengelolaan negara sepenuhnya kepada wazir, dengan demikian wibawa dan derajat wazir semakin bertambah.
Kedua, masa pengaruh Turki (232-324 H/846-935 M), pada periode ini wewenang wazir tidak sebesar pada periode pertama. Hal itu dikarenakan campur tangan tentara dari etnis Turki yang menjabat sebagai Amir al-Umara (panglima tertinggi) yang terlalu besar dalam urusan pemerintahan sehingga mengganggu tugas-tugas utama wazir. Selain itu tentara etnis Turki itu juga berusaha memonopoli kekuasaan di pusat pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah di Bagdad. Sehingga ada seorang jenderal (panglima) etnis Turki bernama Atamisy yang mengangkat dirinya sebagai wazir di masa pemerintahan Khalifah al-Musta'in Billah. Setelah sebelumnya ia berhasil melengserkan dua wazir terlebih dahulu yaitu Ahmad ibn al-Khashib dan Abdullah ibn Muhammad ibn Yazdad. Hubungan paling buruk antara wazir dan para panglima tentara etnis Turki terjadi di masa pemerintahan Khalifah al-Muqtadir Billah (295-320 H/907-931 M), yaitu sebanyak 12 orang menduduki jabatan wazir secara bergantian. Hal ini menunjukkan betapa besarnya persaingan perebutan pengaruh dan kekuasaan antara wazir dan panglima tentara etnis Turki. Bilamana ada wazir yang tidak disukai maka dengan segera akan dilengserkan.
Ketiga, masa jabatan wazir tidak ada karena fungsi wazir digantikan oleh tokoh-tokoh yang menjabat sebagai Amir al-Umara (pemimpin tertinggi). Sedangkan tugas dan keperluan khalifah ditangani oleh sekretaris yang ditunjuk Amir al-Umara. Periode kekuasaan ini disebut pemerintahan Imarat al-Umara. Periode Imarat al-Umara ini berbeda fungsinya dengan periode Imarat al-Umara sebelumnya, ketika tentara etnis Turki memegang kekuasaan.
Letak perbedaannya terdapat pada aspek fungsi dan status, yaitu pada periode Imarat al-Umara yang pertama panglima etnis Turki hanya berfungsi sebagai panglima tertinggi tetapi tidak berstatus wazir. Sedangkan pada periode Imarat al-Umara yang kedua Amir al-Umara berfungsi sebagai panglima tertinggi, wazir, sekaligus kepala pemerintahan menggantikan peran khalifah. Dalam menjalankan roda pemerintahan Amir al-Umara yang kedua, beliau dibantu oleh wazir yang diangkatnya sendiri. Peranan wazir yang diangkat Amir al-Umara ini sebagai administrator, baik untuk urusan sipil maupun militer sangat besar, bahkan hampir menyamai peranan wazir pada masa Dinasti Bani Abbasiyah I.
Selanjutnya, jabatan wazir bertambah menjadi dua, dengan alasan terlalu luasnya wilayah yang harus ditangani. Perombakan struktur wazir lebih dari satu ini dibolehkan dengan syarat bahwa wazir-wazir tersebut berstatus tanfidz (pelaksana/eksekutif) dan bukan tafwidh (mandat penuh). Hal itu untuk menghindari tumpang tindih tugas yang diberikan. Sebagai contoh seorang wazir ditugaskan untuk wilayah timur dan seorang lagi untuk wilayah barat atau yang satu mengurusi kemiliteran dan yang lain mengurusi perpajakan. Dengan pemisahan ini diharapkan agar masalah-masalah yang timbul di wilayah-wilayah yang sangat luas itu dapat ditangani dengan baik. Hal ini dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat problem wilayah yang tidak ditangani dengan cepat.
Menurut orang Bizantium, militer Abbasiyah kuat dan suka berperang, walau jumlah mereka hanya 1000 orang, sulit bagi musuh untuk mengalahkannya, mereka bukan menunggang kuda tetapi unta. Kelemahan pasukan Arab tidak suka cuaca dingin, sehingga jika mereka bercerai berai dalam sebuah pertempuran, biasanya mereka tidak bisa lagi menyusun barisan. Walau demikian, orang Bizantium menilai bahwa musuh mereka yang paling kuat adalah pasukan Arab, yang mereka sebut sebagai orang Barbar dan kafir.
Pasukan reguler pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah terdiri atas pasukan infanteri yang bersenjatakan tombak, pedang, dan perisai, pasukan panah, dan pasukan kavaleri yang mengenakan pelindung kepala dan dada, bersenjatakan tombak panjang dan kapak. Khalifah al-Mutawakkil memperkenalkan gaya membawa pedang di pinggang meniru orang Persia. Ibn Shabir al-Manjaniqi, yang hidup pada masa pemerintahan an-Nashir (1180-1225 M) mengarang buku yang belum lengkap tentang seni peperangan dengan semua tekniknya secara rinci. Harun ar-Rasyid memperkenalkan rumah sakit dan ambulans yang berbentuk gerobak ditarik oleh unta untuk mengiringi pasukan tempur.
Para khalifah Dinasti Bani Abbasiyah seperti as-Saffah dan al-Manshur banyak menggunakan orang Persia sebagai pasukan tempur dibanding orang Arab. Unsur Arab pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah terkurangi perannya. Pasukan pengawal istana kebanyakan diambil dari orang Khurasan. Pasukan Arab terdiri dari dua divisi yaitu Arab Utara dari Mudhar dan Arab Selatan dari Yaman. Para pasukan yang baru masuk Islam (muallaf) masuk pada bagian tentara Arab. Al-Mu'tashim menambahkan divisi baru sebagai pengawal istana terdiri dari orang Turki yang aslinya adalah budak-budak elite istana. Pasukan ini bekerja untuk menteror ibu kota, dan pasukan inilah yang nantinya akan memainkan peran penting dalam pemerintaham Dinasti Bani Abbasiyah.
Pada masa al-Mutawakkil, mulai dibentuk unit-unit asing. Kemudian pada masa al-Muqtadir dikeluarkan kebijakan menyerahkan otonomi propinsi kepada gubernur dan komandan militer yang harus membayar gaji dari pajak propinsi karena pemerintah pusat mulai lemah perekonomiannya. Hal ini menyebabkan semakin berkuasanya pemerintah propinsi dan semakin melemahnya pemerintah pusat. Akhirnya muncullah dinasti lokal seperti Buwaihi, Saljuq, dan Fatimiyah.
Di antara tokoh yang berperan dalam pembentukan Dinasti Bani Abbasiyah tentu adalah khalifah pertama dari Dinasti ini yaitu Abu al-Abbas yang digelari as-Saffah yang memerintah selama empat tahun (132-136/750-754). Pada masa pemerintahannya yang sangat singkat itu lebih banyak dihabiskan untuk membersihkan sisa-sisa pendukung Dinasti Bani Umayyah di seluruh negeri. Tokoh lainnya adalah Dawud ibn Ali yang dikirim ke kota Madinah al-Munawwarah dan Mekah al-Mukarramah untuk mengendalikan kota itu, dan Sulaiman ibn Ali dikirim ke Bashrah. Tokoh Abu Salamah al-Khallal juga sangat berperan, tetapi ia tidak menyetujui pengangkatan as-Saffah sebagai khalifah maka ia segera dicopot dari jabatannya sebagai menteri (wazir) dan digantikan oleh tokoh lain yang berjasa yaitu Abu Jahm ibn Athiyyah, penghubung politik Abu Muslim al-Khurasani.
Abu al-Abbas adalah orang yang berakhlak mulia, memiliki loyalitas yang tinggi, disegani, berpikiran luas, baik tingkah lakunya, sopan santun, menepati janji, agak pemalu, dan hanya beristri satu orang serta tidak memiliki selir. Digelari as-Saffah berarti orang yang sangat dermawan dan gampang mengeluarkan harta benda yang tidak terkira atau juga berarti pemberontak, pemusnah, dan penumpah darah, khususnya bagi lawan politiknya, yaitu Dinasti Bani Umayyah.
Sejalan dengan keberhasilan dalam bidang politik dan pemerintahan, Bani Abbas telah mencatat keberhasilan yang tinggi dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan sebagaimana akan dikemukakan pada Bab berikutnya.
Jika kita telusuri kembali tentang bagaimana bentuk negara dan pemerintahan dalam Islam sejak masa Rasulullah Saw. sampai pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah ini, maka kita akan dapati beberapa perbedaan bentuk antara satu periode dengan periode lainnya. Paling tidak terdapat empat bentuk negara dengan cirri-ciri khas masing-masing. Bila diurutkan Periodenya, maka akan kita dapati sebagai berikut:
- bentuk negara di masa Rasulullah Saw. (622-632 M),
- bentuk negara di masa Sahabat (al-Khulafa ar-Rasyidin) (632-660 M),
- bentuk negara di masa Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) dan
- Dinasti Bani Abbasiyah (7 50-1258 M).
Dengan membahas tentang bentuk-bentuk negara di atas, akan kita dapatkan gambaran, ciri-ciri dan perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Nabi Muhammad Saw. telah menciptakan sebuah pemerintahan lokal baru di Madinah al-Munawwarah yang didirikan atas dasar pandangan kenabiannya. Tidak lama setelah itu pemerintahan tersebut mencapai dimensi internasional yang berjangkauan jauh. Dengan cepat ia menjadi kekuatan yang bersaing di Arabia bukan hanya dengan kaum Quraisy di Mekah, tetapi juga dengan kekaisaran Byzantium dan Sasania. Yang dimaksud dengan pemerintahan lokal ini adalah pemerintahan kota Madinah atau negara Madinah. Karena pada saat itu dalam diri Nabi Muhammad saw. terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan temporal (duniawi). Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara dan agama. Cukup sulit untuk menentukan secara pasti istilah apa yang cocok untuk penamaan bentuk negara di masa Nabi Muhammad Saw. Karena sumber yang ada hanya menyebutkan Negara Madinah. Sistem kontrak sosial dalam negara dengan melindungi kaum minoritas seperti yang dipraktikkan Rasulullah sebenarnya telah ada sejak zaman pra-Islam.
Namun, hal itu kemungkinan besar adalah suatu kepanjangan dari kebiasaan gurun di mana suatu kabilah yang kuat akan memberikan perlindungan pada kabilah atau kelompok yang lebih lemah dengan imbalan tertentu. Negara pada masa hidup Nabi Muhammad Saw. sampai berakhirnya periode Dinasti Bani Umayyah pada dasarnya adalah suatu federasi kabilah-kabilah Arab. Ini terlihat dari kenyataan bahwa dalam dokumen yang disimpan Ibn Hisyam sebagai Piagam Madinah (Konstitusi Madinah) memuat pihak-pihak utama yang melakukan perjanjian (kontrak sosial), yaitu delapan kabilah Arab Madinah dan Muhajirin Quraisy dari Mekah. Maka menurutnya kesatuan politis di Madinah, walau pihak-pihak utamanya adalah umat Islam yang percaya kepada Allah Swt. dan mematuhi perintah-perintah-Nya, secara politis dilahirkan sebagai federasi klan-klan atau kabilah-kabilah Arab. Secara prinsip bentuk negara Madinah itu pada hakekatnya lebih mirip dengan negara kota (city state) yang berbentuk republik. Di mana Rasulullah Saw. bertindak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Nama lain untuk bentuk negara di masa Rasulullah Saw. ini adalah Kerajaan Tuhan (Kingdom of God) atau dalam istilah lain biasa disebut teokrasi atau teo-demokrasi. Sebuah sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi ilahi (divine), dan seluruh umat Muslim menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw.
Sistem teokrasi atau teo-demokrasi yang dibangun umat Islam berbeda dengan sistem teokrasi yang pernah dianut negara-negara Eropa dahulu. Karena di negara-negara Eropa tersebut pemerintahan dikuasai sekelompok pendeta yang memiliki kekuasaan secara dominan dan tak terbatas. Sehingga dalam menegakkan hukum-hukum negara yang mengatasnamakan Tuhan seringkali hanyalah merupakan tafsiran mereka sendiri yang dipaksakan kepada rakyat.
Pada masa pemerintahan Sahabat atau (al-Khulafa ar-Rasyidin/Khilafah Rasyidah) yang berarti khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk Tuhan, penamaan bentuk negara tidak mengalami perubahan, hanya sistemnya disebut khilafah. Ciri-ciri utama sistem ini adalah para khalifah betul-betul mengikuti teladan Rasulullah Saw. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Meskipun mekanisme pemilihan keempat khalifah itu masing-masing berbeda antara satu dengan lainnya, tetapi semuanya lebih mendahulukan proses musyawarah.
Pada periode ini istilah pemimpin atau kepala negara mengalami sebutan yang berbeda tetapi substansinya sama. Abu Bakar as-Siddiq misalnya, menyebut dirinya sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah Saw. dalam urusan kepemimpinan umat dan bukan pengganti urusan kenabiannya. Pernyataan ini berarti mempertegas status Abu Bakar as-Siddiq hanya sebagai wakil dari Rasulullah. Sementara Umar ibn al-Khaththab menyebut dirinya sebagai khalifah (pengganti) daripada khalifah Rasulullah (penggantinya Rasulullah) yaitu Abu Bakar as-Siddiq. Selain itu Umar juga memakai istilah amir almukminin (pemimpin orang-orang yang beriman) sebagai ganti daripada istilah malik (raja). Istilah amir al-mukminin dan malik sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu sebagai pemegang otoritas kekuasaan yang tertinggi. Tetapi masyarakat Arab pada saat itu lebih familier dan terbiasa dengan istilah amir al-mukminin dibandingkan dengan malik. Sedangkan Ali ibn Abi Thalib lebih suka memakai gelar imam yang memiliki arti pemberi petunjuk umat dalam urusan dunia dan agama. Tetapi untuk membedakan dengan imam salat (alimamah as-sugra) ia menggunakan istilah al-imamah aluzhma atau al-kubra (kepemimpinan tertinggi). Istilah-istilah khalifah, amir al-mukminin, dan imam merupakan istilah terpenting sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah Saw.
Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah penamaan bentuk negara tetap tidak mengalami perubahan yaitu khilafah. Tetapi konsep khalifah sebagai kepala negara mengalami perubahan yaitu raja. Hal itu dikarenakan pemerintahan yang dulu bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun-temurun). Perbedaan antara Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah secara prinsip terletak pada corak pemerintahannya. Dinasti Bani Umayyah yang bercorak Arab menerapkan pemerintahan yang sentralistik. Sedangkan Dinasti Bani Abbasiyah yang bercorak campuran antara Arab dan non-Arab (Persia dan Turki) menerapkan pemerintahan yang desentralistik. Sistem monarkhi absolut yang diterapkan Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah ini sebenarnya mencontoh monarchi Persia dan Byzantium. Namun, pendapat lain mengatakan hanya Dinasti Bani Abbasiyah yang mencontoh tradisi Persia. Di sini istilah khalifah bukan sebagai pengganti atau wakil Rasulullah Saw. tetapi sebagai khalifah Allah atau wakil Tuhan di muka bumi yang didasarkan pada nash Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 30. Menurut tradisi Persia dalam diri raja terdapat hak raja yang suci atau hak ketuhanan dalam dirinya (The divine right of kings) dan orang yang menentangnya berarti ia telah keluar dari ketentuan agamanya.
Akibat sistem pemerintahan yang desentralistik, di masa pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah muncul kekuasaan politik yang menyerupai kekuasaan negara atau negara dalam negara yaitu pemerintahan Bani Buwaihi yang berkebangsaan Persia dan Bani Saljuq yang berkebangsaan Turki. Menurut teori politik modern, kekuasaan politik yang telah dicapai Bani Buwaihi dan Bani Saljuq sebenarnya sudah pantas disebut sebagai sebuah negara. Hal itu dikarenakan Bani Buwaihi dan Bani Saljuq berbeda dengan dinasti-dinasti lain yang juga memerdekakan diri secara politik (bukan teritorial/separatis) dari Dinasti Bani Abbasiyah. Mereka masih mengirim upeti kepada khalifah di Bagdad sebagai tanda pengakuan terhadap kepala negara. Tetapi tidak demikian halnya dengan Bani Buwaihi dan Bani Saljuq, kedua Dinasti ini telah memenuhi syarat-syarat berdirinya sebuah negara yang empat, yaitu:
- adanya pemerintahan,
- rakyat,
- teritorial, dan
- hukum (konstitusi).
Hanya satu yang tidak dimiliki Bani Buwaihi dan Bani Saljuq yaitu legitimasi (pengakuan) secara syari'ah sebagai khalifah. Dalam sistem sosial-politik apa pun, legitimasi adalah masalah yang sangat fundamental.
Dalam penamaan bentuk negara untuk kasus Bani Buwaihi dan Bani Saljuq ini, para sejarawan tidak menyebutnya secara eksplisit tetapi hanya coraknya saja. Misalnya hanya menyebut “Kemaharajaan” Buwaihi (The Buyid Kingdom) dan “kemaharajaan” Saljuq (The Saljuqid Kingdom) atau Konfederasi Bani Buwaihi (The Buyid Confederation). Kedua istilah tersebut, kingdom dan confederation merupakan nama untuk sebuah negara di zaman modern ini. Sebagai contoh United Kingdom (UK) untuk Kerajaan Inggris dan Konfederasi Republik Sosialis Uni Sovyet (USSR) sebelum terpecah-pecah.
Sepanjang sejarah Dinasti Bani Abbasiyah sistem administrasi pemerintahan (al-wizarah) mengalami beberapa kali perubahan fungsi. Paling tidak terjadi tiga kali perubahan fungsi.
Pertama, pada masa awal pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah I (132-232 H/750-846 M) peranan wazir (perdana menteri) sangat besar dalam urusan mengatur jalannya roda pemerintahan, bahkan status wazir saat itu hampir sederajat dengan khalifah. Karena khalifah seringkali dalam beberapa hal menyerahkan urusan pengelolaan negara sepenuhnya kepada wazir, dengan demikian wibawa dan derajat wazir semakin bertambah.
Kedua, masa pengaruh Turki (232-324 H/846-935 M), pada periode ini wewenang wazir tidak sebesar pada periode pertama. Hal itu dikarenakan campur tangan tentara dari etnis Turki yang menjabat sebagai Amir al-Umara (panglima tertinggi) yang terlalu besar dalam urusan pemerintahan sehingga mengganggu tugas-tugas utama wazir. Selain itu tentara etnis Turki itu juga berusaha memonopoli kekuasaan di pusat pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah di Bagdad. Sehingga ada seorang jenderal (panglima) etnis Turki bernama Atamisy yang mengangkat dirinya sebagai wazir di masa pemerintahan Khalifah al-Musta'in Billah. Setelah sebelumnya ia berhasil melengserkan dua wazir terlebih dahulu yaitu Ahmad ibn al-Khashib dan Abdullah ibn Muhammad ibn Yazdad. Hubungan paling buruk antara wazir dan para panglima tentara etnis Turki terjadi di masa pemerintahan Khalifah al-Muqtadir Billah (295-320 H/907-931 M), yaitu sebanyak 12 orang menduduki jabatan wazir secara bergantian. Hal ini menunjukkan betapa besarnya persaingan perebutan pengaruh dan kekuasaan antara wazir dan panglima tentara etnis Turki. Bilamana ada wazir yang tidak disukai maka dengan segera akan dilengserkan.
Ketiga, masa jabatan wazir tidak ada karena fungsi wazir digantikan oleh tokoh-tokoh yang menjabat sebagai Amir al-Umara (pemimpin tertinggi). Sedangkan tugas dan keperluan khalifah ditangani oleh sekretaris yang ditunjuk Amir al-Umara. Periode kekuasaan ini disebut pemerintahan Imarat al-Umara. Periode Imarat al-Umara ini berbeda fungsinya dengan periode Imarat al-Umara sebelumnya, ketika tentara etnis Turki memegang kekuasaan.
Letak perbedaannya terdapat pada aspek fungsi dan status, yaitu pada periode Imarat al-Umara yang pertama panglima etnis Turki hanya berfungsi sebagai panglima tertinggi tetapi tidak berstatus wazir. Sedangkan pada periode Imarat al-Umara yang kedua Amir al-Umara berfungsi sebagai panglima tertinggi, wazir, sekaligus kepala pemerintahan menggantikan peran khalifah. Dalam menjalankan roda pemerintahan Amir al-Umara yang kedua, beliau dibantu oleh wazir yang diangkatnya sendiri. Peranan wazir yang diangkat Amir al-Umara ini sebagai administrator, baik untuk urusan sipil maupun militer sangat besar, bahkan hampir menyamai peranan wazir pada masa Dinasti Bani Abbasiyah I.
Selanjutnya, jabatan wazir bertambah menjadi dua, dengan alasan terlalu luasnya wilayah yang harus ditangani. Perombakan struktur wazir lebih dari satu ini dibolehkan dengan syarat bahwa wazir-wazir tersebut berstatus tanfidz (pelaksana/eksekutif) dan bukan tafwidh (mandat penuh). Hal itu untuk menghindari tumpang tindih tugas yang diberikan. Sebagai contoh seorang wazir ditugaskan untuk wilayah timur dan seorang lagi untuk wilayah barat atau yang satu mengurusi kemiliteran dan yang lain mengurusi perpajakan. Dengan pemisahan ini diharapkan agar masalah-masalah yang timbul di wilayah-wilayah yang sangat luas itu dapat ditangani dengan baik. Hal ini dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat problem wilayah yang tidak ditangani dengan cepat.
Menurut orang Bizantium, militer Abbasiyah kuat dan suka berperang, walau jumlah mereka hanya 1000 orang, sulit bagi musuh untuk mengalahkannya, mereka bukan menunggang kuda tetapi unta. Kelemahan pasukan Arab tidak suka cuaca dingin, sehingga jika mereka bercerai berai dalam sebuah pertempuran, biasanya mereka tidak bisa lagi menyusun barisan. Walau demikian, orang Bizantium menilai bahwa musuh mereka yang paling kuat adalah pasukan Arab, yang mereka sebut sebagai orang Barbar dan kafir.
Pasukan reguler pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah terdiri atas pasukan infanteri yang bersenjatakan tombak, pedang, dan perisai, pasukan panah, dan pasukan kavaleri yang mengenakan pelindung kepala dan dada, bersenjatakan tombak panjang dan kapak. Khalifah al-Mutawakkil memperkenalkan gaya membawa pedang di pinggang meniru orang Persia. Ibn Shabir al-Manjaniqi, yang hidup pada masa pemerintahan an-Nashir (1180-1225 M) mengarang buku yang belum lengkap tentang seni peperangan dengan semua tekniknya secara rinci. Harun ar-Rasyid memperkenalkan rumah sakit dan ambulans yang berbentuk gerobak ditarik oleh unta untuk mengiringi pasukan tempur.
Para khalifah Dinasti Bani Abbasiyah seperti as-Saffah dan al-Manshur banyak menggunakan orang Persia sebagai pasukan tempur dibanding orang Arab. Unsur Arab pada masa awal Dinasti Bani Abbasiyah terkurangi perannya. Pasukan pengawal istana kebanyakan diambil dari orang Khurasan. Pasukan Arab terdiri dari dua divisi yaitu Arab Utara dari Mudhar dan Arab Selatan dari Yaman. Para pasukan yang baru masuk Islam (muallaf) masuk pada bagian tentara Arab. Al-Mu'tashim menambahkan divisi baru sebagai pengawal istana terdiri dari orang Turki yang aslinya adalah budak-budak elite istana. Pasukan ini bekerja untuk menteror ibu kota, dan pasukan inilah yang nantinya akan memainkan peran penting dalam pemerintaham Dinasti Bani Abbasiyah.
Pada masa al-Mutawakkil, mulai dibentuk unit-unit asing. Kemudian pada masa al-Muqtadir dikeluarkan kebijakan menyerahkan otonomi propinsi kepada gubernur dan komandan militer yang harus membayar gaji dari pajak propinsi karena pemerintah pusat mulai lemah perekonomiannya. Hal ini menyebabkan semakin berkuasanya pemerintah propinsi dan semakin melemahnya pemerintah pusat. Akhirnya muncullah dinasti lokal seperti Buwaihi, Saljuq, dan Fatimiyah.
Di antara tokoh yang berperan dalam pembentukan Dinasti Bani Abbasiyah tentu adalah khalifah pertama dari Dinasti ini yaitu Abu al-Abbas yang digelari as-Saffah yang memerintah selama empat tahun (132-136/750-754). Pada masa pemerintahannya yang sangat singkat itu lebih banyak dihabiskan untuk membersihkan sisa-sisa pendukung Dinasti Bani Umayyah di seluruh negeri. Tokoh lainnya adalah Dawud ibn Ali yang dikirim ke kota Madinah al-Munawwarah dan Mekah al-Mukarramah untuk mengendalikan kota itu, dan Sulaiman ibn Ali dikirim ke Bashrah. Tokoh Abu Salamah al-Khallal juga sangat berperan, tetapi ia tidak menyetujui pengangkatan as-Saffah sebagai khalifah maka ia segera dicopot dari jabatannya sebagai menteri (wazir) dan digantikan oleh tokoh lain yang berjasa yaitu Abu Jahm ibn Athiyyah, penghubung politik Abu Muslim al-Khurasani.
Abu al-Abbas adalah orang yang berakhlak mulia, memiliki loyalitas yang tinggi, disegani, berpikiran luas, baik tingkah lakunya, sopan santun, menepati janji, agak pemalu, dan hanya beristri satu orang serta tidak memiliki selir. Digelari as-Saffah berarti orang yang sangat dermawan dan gampang mengeluarkan harta benda yang tidak terkira atau juga berarti pemberontak, pemusnah, dan penumpah darah, khususnya bagi lawan politiknya, yaitu Dinasti Bani Umayyah.
Sejalan dengan keberhasilan dalam bidang politik dan pemerintahan, Bani Abbas telah mencatat keberhasilan yang tinggi dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan sebagaimana akan dikemukakan pada Bab berikutnya.
Post a Comment