Header Ads

Buku SKI

Fase-fase Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah


Dinasti Bani Umayyah dengan ibu kotanya di Damaskus berlangsung selama 91 tahun dan diperintah oleh 14 khalifah, mereka adalah:
  1. Muawiyah bin Abu Sufyan (40-60/660-680)
  2. Yazid bin Muawiyah (60-64/680-684)
  3. Muawiyah II (63-64/683-684)
  4. Marwan bin al-Hakam (64-65/684-685)
  5. Abdul Malik bin Marwan (65-86/685-705)
  6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-96/705-715)
  7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99/715-717)
  8. Umar bin Abdul Aziz (99-101/717-719)
  9. Yazid bin Abdul Malik (101-105/720-7 24)
  10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125/724-743)
  11. Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126/743-743)
  12. Yazid bin Walid bin Abdul Malik (126/743-126/743)
  13. Ibrahim bin al-Walid (127/744-127/744)
  14. Marwan bin al-Hakam (127-132/744-750).
Setelah Muawiyah resmi memimpin Dinasti Bani Umayyah, ia memindahkan ibu kota ke Damaskus. Pemindahan ibu kota dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya dari pusat Arabia, yaitu Madinah yang mulanya merupakan pusat agama dan politik pada masa khulafaurrasyidin kepada sebuah kota kosmopolitan Damaskus. Dari kota inilah Dinasti Bani Umayyah memerintah umat Islam, memperluas wilayah kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat. Perubahan sistem pemerintahan dari khilafah ke kerajaan, setidaknya ada pengaruh dari kekaisaran Romawi.

Telah disebutkan bahwa Dinasti Bani Umayyah dipimpin oleh 14 khalifah, dan dari ke 14 pemimpin tersebut, hanya beberapa saja yang dianggap mempunyai reputasi terhadap perkembangan Dinasti Bani Umayyah. Mereka antara lain adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Al-Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hisyam, selebihnya adalah para khalifah yang dianggap tidak banyak memberi kontribusi terhadap dinasti ini. bahkan menjadi penyebab bagi kehancuran dinasti.

Sejarah Dinasti Bani Umayyah dibagi menjadi tiga periode;
  1. Periode perintisan dan permulaan,
  2. Periode pengembangan dan kejayaan,
  3. Periode kemunduran dan kejatuhan.
Periode pertama dilakukan pemimpin pertama Dinasti Bani Umayyah yaitu Muawiyah dengan konsolidasi internal dan menyingkirkan lawan-lawan politik. Muawiyah mengerti karakter suku-suku Arab, karena itu dia memberi otonomi kepada para angota suku, dan hanya masalah yang dia anggap krusial saja diambil pemerintah pusat.

a) Muawiyah bin Abu Sufyan

Muawiyah mengangkat panglima dan diplomat ulung yang memenangkan Muawiyah dalam peristiwa tahkim dengan Khalifah Ali, Amr bin Ash sebagai Gubernur Mesir. Amr dianggap mampu dan setia kepada Muawiyah. Ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan Amr di Mesir dan Afrika Utara telah menghasilkan ganimah, yang sebagiaannya didistribusikan kepada suku-suku yang terlibat perang, dan ini menambah senang para anggota suku karena dihargai. Amr pun berhasil menyisihkan kelebihan ganimah sebanyak 600.000 dinar ke pemerintah pusat.

Muawiyah bukan saja peletak dasar Dinasti Bani Umayyah, tetapi juga menjadi penerus Umar bin Khattab yang berhasil menaklukkan imperium Parsi dan Romawi. Dia memperluas wilayah sampai ke Khurasan (42/662), Selat Bosphorus (48/668), Afrika, Sudan (50/670), Pulau Rhodes (52 /672 ), Creta (54 I674), dan berusaha menaklukan ibu kota Romawi, Konstantinopel selama tujuh tahun (54-60/674-680) sampai wafatnya. Dalam penaklukan tersebut turut serta para sahabat, Abdullah ibn Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, dan Abu Ayyub al-Anshari. Usaha penaklukan Konstantinopel telah membuat sahabat Abu Ayyub al-Anshari syahid dan jenazahnya sekarang dimakamkan di Istanbul, Turki. (Hasan Ibrahim Hasan Vol 1, 2001: 228-229).

b) Yazid bin Muawiyah

Muawiyah wafat pada tahun 60/680. Ia mengangkat putranya, Yazid sebagai penggantinya. Pengangkatan ini tidak sesuai dengan perjanjian antara Hasan dan Muawiyah, yang mengharuskan pemilihan kekhalifahan dikembalikan kepada umat Islam. Tetapi Muawiyah mempunyai alasan tersendiri, yaitu untuk menjaga persatuan umat Islam. Ibnu Khaldun mengemukakan: “Muawiyah mengangkat putranya sebagai khalifah karena ingin menjaga keutuhan umat Islam. Ia juga bermusyawarah minta persetujuan Dewan Tinggi (ahlul halli wal-aqdi) bentukannya. Waktu itu, Dinasti Bani Umayyah tidak menyetujui nama lain selain Yazid. Hadirnya sahabat-sahabat terkemuka dan diamnya mereka adalah bukti mereka tidak ada kecurigaan dan kebimbangan atas diangkatnya Yazid.” Beberapa sahabat yang pada akhirnya menyetujui dan membaiat Yazid adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abu Bakar. Sedangkan Husain bin Ali dan Zubair belum membaiatnya.

Husain dianggap sebagai pembangkang oleh Yazid, karena itu ia mengirim utusan kepada Husain agar mau membaiat Yazid. Mendengar berita tersebut, Husain malah berkeinginan melawan Yazid. Banyak sahabat yang sudah melarang dan menasihati Husain agar tidak melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan perang saudara. Abdullah bin Abbas meminta Husain tidak mempercayai penduduk Irak karena mereka suka mengingkari janji. Ia minta agar Husain tetap tinggal di Hijaz, dan menjadi pemimpin di Hijaz. Abdullah ibn Abbas meminta jika Husain tetap berkeinginan pergi, maka hendaknya pergi ke Yaman, sebab penduduk Yaman sangat menghormati Ali. Tetapi ia tetap berangkat dari Mekah menuju Kufah. Pada tanggal 10 Muharram (hari Asyura) 61/681, Husain dibunuh di Karbala oleh Ubaidillah bin Ziyad yang membawa pasukan dari Irak. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai “Tragedi Karbala.”

c) Al-Walid bin Abdul Malik

Setelah Yazid wafat, beberapa khalifah Dinasti Bani Umayyah, seperti Muawiyah II, Marwan bin al-Hakam, dan putranya Abdul Malik bin Marwan, tidak banyak membuat perubahan pada dinasti ini. Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (86-96/705-715), terjadi perluasan wilayah, seperti Maroko dan Armenia. Kesuksesan Al-Walid sangat didukung oleh keberadaan beberapa panglima perangnya yang cakap, Qutaybah ibn Muslim, Muhammad ibn al-Qasim dan Musa ibn Nushair.

Pada masa Abdul Malik (65-86/685-705), Qutaybah diangkat oleh Al-Hajjaj ibn Yusuf, (Gubernur Khurasan) menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Tidak lama kemudian, ia (Qutaybah) menyeberangi Sungai Oxus, kemudian dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana, Samarkand, Transoxiana, dan perbatasan wilayah Cina. Di samping itu, Muhammad ibn Qasim diberi kepercayaan oleh Al-Hajjaj untuk menundukkan India. Dia menuju ke Sind pada tahun 89/708, mengepung pelabuhan Deibul di Muara Sungai Indus, Ibn Qasim bisa memperluas kemenangannya di seluruh penjuru Sind, sehingga ia tiba di Maltan, pusat haji terkenal orang-orang India di sebelah selatan Punjab.

Perluasan wilayah ke Barat di zaman Walid I dilakukan oleh Musa ibn Nushair yang berhasil menyerang Aljazair dan Marokko. Setelah dapat menundukkannya, ia mengangkat Tariq ibn Ziyad sebagai wakil untuk memerintah daerah itu. Didorong oleh kemenangan-kemenangan di Afrika Utara dan karena timbulnya kerusuhan-kerusuhan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol, maka pada tahun 91/710 Musa pun mengirim Tarif ibn Malik melalui selat yang kemudian dikenal dengan "Pelabuhan Tarifa" bersama 500 bala tentara, kebanyakan orang-orang Barbar, menyerbu Spanyol. Tahun berikutnya Musa menugaskan Tariq ibn Ziyad dengan 7000 tentara mendarat di suatu tempat yang kemudian dikenal dengan Gibraltar (Jabal Tariq). Kapal-kapal untuk pendaratan itu dibeli dari Yulian, seorang bangsawan dari Ceuta. Kira-kira 100.000 tentara Spanyol di bawah pimpinan Roderick dapat dikalahkan setelah Tariq mendapat tambahan pasukan Yang dikirim Musa menjadi 12.000 orang. Dengan demikian pintu untuk menguasai Spanyol terbuka luas. Toledo, ibu kota Spanyol, jatuh ke tangan pasukan muslim. Demikian pula kota-kota lain seperti Seville, Malaga, Elvira dan Cordoba. Cordoba kemudian menjadi ibu kota Spanyol Islam yang dalam bahasa Arab disebut Al-Andalus.

Mendengar kemenangan Tariq di Spanyol, pada tahun 93/712, Musa membawa pasukan Barbar dan Arab sebanyak 18.000 menuju Spanyol guna mengambil bagian dalam ekspedisi penaklukan Spanyol. Setelah menaklukkan Carmona, Musa melanjutkan ekspansinya ke Barcelona di sebelah timur, Narbone, Cadiz di sebelah tenggara dan Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk melanjutkan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, tetapi Musa tiba-tiba dipanggil Khalifah Al-Walid I ke Damaskus. Serangan ke Perancis dilanjutkan oleh Abdurrahman al-Ghafiqi tetapi gagal karena dibunuh oleh pasukan Charles Martel. Setelah kegagalan al-Ghafiqi, perluasan wilayah ke Barat turut berhenti pada tahun 732.


Tahun 732 menandai seratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Seratus tahun setelah wafatnya Rasulullah, umat Islam menjadi penguasa wilayah yang jauh lebih besar dari kerajaan Romawi pada masa keemasannya. Wilayah Islam membentang dari Andalusia (Spanyol) hingga Indus dan perbatasan Cina, serta dari Laut Aral hingga Sungai Nil bagian bawah. Kalimat “Allahu Akbar” berkumandang setiap hari lima kali sehari di ribuan menara yang tersebar di seluruh Eropa Barat Daya, Afrika Utara, Asia Barat dan Tengah. Damaskus yang pernah didatangi Nabi Muhammad saw. untuk berdagang, dan beliau sangat kagum melihatnya, kini menjadi ibu kota kekuasaan Islam. Di tengah kota, yang dirancang seperti sebuah mutiara pada gelang batu emerald, berdiri megah di istana Dinasti Umayyah, dan darinya bisa dilihat wilayah luas yang membentang ke Barat Daya hingga Gunung Hermon, yang puncaknya diselimuti salju.

Nama istana Dinasti Bani Umayyah adalah Al-Khadhra' (yang hijau) dirancang sendiri oleh Muawiyah. Istana ini berdiri berdampingan dengan Masjid Agung Umayyah di Damaskus, yang dikemudian hari direnovasi dan dihiasi oleh Khalifah Al-Walid, hingga kini menjadi peninggalan monumental dinasti ini, dan banyak dikunjungi para pecinta sejarah. Dalam ruang pertemuan istana, terdapat kursi persegi empat, dihiasi bantal-bantal bermotif rumit, sebagai singgasana khalifah. Di atas kursi itulah, khalifah duduk bersila ketika berlangsung acara-acara resmi kenegaraan. Di sebelah kanannya, duduk berbaris saudara-saudara khalifah yang seayah, sesuai dengan urutan senioritas mereka, dan di sebelah kirinya saudara-saudaranya seibu. Para tamu, penyair, dan orang yang berperkara duduk di belakang. Pertemuan yang lebih formal diadakan di Masjid Agung Umayyah.

Kemenangan yang diperoleh umat Islam, menjadikan orang-orang Islam bertempat tinggal di daerah-daerah yang dikalahkan itu, dan karena mereka menerima harta rampasan perang, secara tidak langsung juga menjadi tuan-tuan tanah di daerah taklukan tersebut. Prinsip keuangan negara sama seperti apa yang dijalankan khulafaurrasyidin, yaitu penetapan pajak tanah (kharaj) dan pajak perorangan (jizyah) untuk setiap individu penghuni daerah-daerah yang telah dikalahkan merupakan pemasukan ekonomi bagi pemerintah Dinasti Bani Umayyah. Hal ini menyebabkan lancarnya sistem penggajian dan memperlancar juga dakwah Islamiyah. Pada mulanya gaji hanya diprioritaskan bagi orang-orang Arab saja, sedangkan orang-orang non Arab muslim diberi gaji dan harta rampasan perang setelah beberapa lama menjadi tentara, itupun dalam jumlah yang berbeda. Pembedaan antara orang-orang Arab dan nonArab di kemudian hari sangat membuat orang Arab lemah, sehingga peran tentara kemudian banyak diambil oleh orang non Arab. (Siti Maryam, ed, 2002: 73).

d) Umar bin Abdul Aziz

Kejayaan Dinasti Bani Umayyah berakhir pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101/717-719). Beberapa sejarawan menyebutnya sebagai Umar II, dikenal sebagai pribadi yang saleh, terpelajar, sangat menghargai ahlul bait, cinta ilmu pengetahuan. Setelah Umar II, para penerus kekhalifahan lemah, akhirnya jatuh. Pada tahun 750, khalifah Dinasti Bani Umayyah terakhir Marwan II berhasil ditangkap oleh pemimpin pasukan Abbasiyah, Abdullah bin Ali, paman khalifah pertama Dinasti Abbasiyah Abu al-Abbas as-Saffah.

Khalifah terakhir Dinasti Bani Umayyah adalah Marwan ibn Muhammad ibn Marwan ibn al-Hakam (Marwan II). Ia menolak membaiat saudaranya, Yazid ibn Walid, atau pengganti sesudahnya, Ibrahim ibn Walid. Pada masa itu, terjadi banyak pergolakan baik di luar maupun di internal kerajaan sendiri. Ia akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit, siapnya Dinasti Bani Abbasiyah untuk merebut kekuasaan dari Dinasti Bani Umayyah. Ia pun berhasil dibunuh pasukan Dinasti Bani Abbasiyah pada tahun 132 H/ 750 M.

Materi Berikutnya >> NEXT
Menu Utama Klik >> DAFTAR ISI

Tidak ada komentar