Berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Dinasti
Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdul
Syams bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab. Ia berasal dari salah satu pemimpin
suku Quraisy. Muawiyah dinilai memiliki cukup persyaratan untuk menjadi
pemimpin, beliau berasal dari keluarga bangsawan kaya dan dihormati oleh
masyarakatnya. Pada awal perkembangan Islam, sebagian besar anggota keluarga
Dinasti Bani Umayyah menentang dakwah Nabi Muhammad saw. Namun ketika beliau
dan umat Islam berhasil menduduki kota Mekah pada tahun 8 H/630 M, keluarga
Bani Umayyah menyerah dan menyatakan bersedia masuk Islam. Sedangkan Muawiyah
sendiri telah masuk Islam sebelum peristiwa Fathu Makkah.
Pada masa Rasulullah, Muawiyah turut serta dalam Perang Hunain. Ia merupakan salah satu penulis wahyu. Karir politik Muawiyah terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Ia mendampingi saudaranya Yazid bin Abu Sufyan ke Syam dan berhasil menaklukkan negeri tersebut ke kekuasaan Islam. Ketika Yazid wafat, Abu Bakar mempercayakan kepada Muawiyah menjadi gubernur untuk wilayah Syam, menggantikan Yazid. Keputusan Abu Bakar didukung oleh sahabat Umar dan Usman. Pada masa pemerintahan Umar, Muawiyah masih dipercaya sebagai gubernur wilayah Syam.
Pada masa
pemerintahan Khalifah Usman ibn Affan (23-35 H/644-656 M), Muawiyah diangkat
kembali menjadi gubernur Wilayah Syam dengan ibu kota Damaskus. Ia menguasai
wilayah Syam sekitar dua puluh tahun. Hampir seluruh penduduk Syam sangat setia
kepada Muawiyah. Ketika Usman ibn Affan meninggal karena terbunuh pada saat
membaca Al-Qur'an, Muawiyah menuntut Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang waktu itu
diangat sebagai khalifah menggantikan Usman, untuk mengusut tuntas siapa saja
yang terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap Khalifah Usman bin Affan.
Atas dasar
tuntutan tersebut, Muawiyah tidak mau mengakui Ali ibn Abi Thalib (35-40
H/656-661 M) sebagai khalifah sampai Ali bisa menemukan dan menghukum pembunuh
Khalifah Usman. Ali menganggap Muawiyah sebagai pemberontak karena tidak mau
mengakui kekhalifahannya, dan atas dasar itulah Ali memerangi Muawiyah,
kemudian terjadi perang antara tentara Ali dan Muawiyah, peperangan tersebut
disebut sebagai Perang Siffin. Pada peristiwa Siffin pasukan Ali hampir
mendapatkan kemenangan, namun tiba-tiba dari pihak Muawiyah mengangkat
Al-Qur'an dengan tombak sebagai tanda berdamai. Ide untuk mengangkat Al-Qur'an
sebagai tanda berdamai merupakan siasat dari pengikut setia Muawiyah yaitu Amr
ibn Ash, seorang politisi, dan diplomat ulung. Ali sendiri pada mulanya ragu
akan niat baik damai dari pihak Muawiyah yang hampir mengalami kekalahan.
Pasukan Ali terbelah menjadi dua, satu pihak setuju damai dan di lain pihak
menolak. Namun pada akhirnya Ali menerima tawaran damai dengan cara tahkim
(arbitrase).
Dalam peristiwa
tahkim, kedua belah pihak setuju mengutus utusan. Pihak Muawiyah diwakili oleh
Amr ibn Ash dan dari pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy'ari. Pada waktu
tahkim masing-masing pihak menyepakati untuk menurunkan jabatan Ali dan
Muawiyah. Amr ibn Ash mempersilahkan Abu Musa sebagai orang yang lebih tua
berpidato mewakili Ali. Setelah selesai berpidato yang salah satu isinya
menurunkan Ali sebagai khalifah, maka giliran Amr ibn Ash berbicara mewakili
Muawiyah. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Amr ibn Ash untuk mengumumkan
kepemimpinan Muawiyah, karena Abu Musa telah menurunkan Ali sebagai khalifah.
Dengan siasat ini, peristiwa tahkim lebih menguntungkan pihak Muawiyah dan
menimbulkan kekecewaan bagi pihak Ali, sehingga banyak tentara Ali yang keluar
dari barisan yang dikenal dengan kelompok Khawarij. Kaum Khawarij menganggap
bahwa yang terlibat dalam peristiwa tahkim telah melakukan dosa besar sehinga
semuanya harus bertobat atau dibunuh. Kelompok Khawarij berencana membunuh Ali,
Muawiyah, dan Amr. Namun, hanya kelompok yang diketuai Abdurrahman bin Muljam
yang berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan Amr tidak berhasil dibunuh
oleh kelompok Khawarij, karena kedua tokoh tersebut dikawal dengan pengawalan
ekstra ketat, meniru gaya pengawalan kerajaan Romawi.
Kekuasaan
Dinasti Bani Umayyah dimulai pada masa berkuasanya Muawiyah bin Abu Sufyan,
tepatnya setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali wafat, orang-orang
Madinah membaiat Hasan bin Ali, namun Hasan cenderung mengalah dan menyerahkan
jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Hal ini dilakukan Hasan
dengan tujuan menghindari perang berkepanjangan dan timbulnya banyak fitnah di
internal kaum Muslimin, mulai dari terbunuhnya Usman bin Affan, pertempuran
Shiffin, Perang Jamal dan pengkhianatan orang-orang Khawarij dan Syi‘ah. Hasan
setuju menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan syaratsyarat
sebagai berikut:
- Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak;
- Muawiyah harus membayar utang-utangnya (kepada Hasan dan Husain dengan sejumlah uang dari pajak);
- Setelah Muawiyah, pemilihan atau pengangkatan khalifah harus diserahkan kembali kepadanya dan musyawarah kaum muslimin (Jalaluddin as-Suyuthi: 239). Tentang jumlah jaminan Muawiyah kepada Hasan dan Husain disebutkan sejarawan Philip K. Hitti, mengutip dari sejarawan klasik ad-Dinawari, at-Thabari, dan al-Ya‘qubi, bahwa Muawiyah akan memberi subsidi dan pensiun seumur hidup sebesar 5.000.000 dirham dari perbendaharaan Kufah (Philip K. Hitti, 2005: 236).
Perjanjian
tersebut terjadi pada tahun 41/661, tahun tersebut disebut juga Am al-Jamaah
(tahun persatuan) karena kaum Muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Segera
setelah menjadi pemimpin, Muawiyah mengambil alih daerah Mesir dari seorang
gubernur yang diangkat Khalifah Ali, kemudian jabatan tersebut diberikan kepada
diplomat ulung dan pendukung setia Muawiyah, Amr ibn Ash. Dengan perjanjian
ini, maka telah berdiri awal pemerintahan Muawiyah dan sekaligus merupakan
akhir periode khulafaurrasyidin. Periode Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa
kurang lebih 91 tahun dari 41 H/661 M sampai 132 H/750 M. Pada masa kekuasaan
Muawiyah, pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis berubah menjadi
Monarchiheridetis (kerajaan turun-temurun). Pemilihan khalifah tidak lagi
berdasarkan musyawarah pemilihan dan suara terbanyak. Muawiyah bermaksud
mencontoh sistem monarchi kekaisaran Persia dan Bizantium. Ia mengangkat
anaknya bernama Yazid bin Muawiyah (60-64/681-684) sebagai penggantinya.
Materi Berikutnya >> NEXT
Menu Utama Klik >> DAFTAR ISI
Materi Berikutnya >> NEXT
Menu Utama Klik >> DAFTAR ISI
Post a Comment