Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan di Masa Umayyah
Kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah
perangkat-perangkat model pengetahuan, yang secara selektif digunakan oleh para
pendukung atau pelakunya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang
dihadapi dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak (dalam
bentuk kelakuan dan bendabenda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang
dihadapi. Di sini, kebudayaan dilihat sebagai sistem pemikiran dan pengetahuan,
sebab pemahaman seperti ini oleh para ahli antropologi dipandang lebih dinamis
guna memahami masalah-masalah sosial di masyarakat.
Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu:
(1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
(2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan
(3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari
kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di
dalam kepala-kepala manusia atau dengan perkataan lain, ada dalam alam pikiran
warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Jika warga
masyarakat menyatakan gagasan mereka dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan
ideal berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis tersebut.
Dewasa ini, kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi,
micro film dan microfish, kartu komputer dan silinder, dan pita komputer.
Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat,
memberi jiwa pada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu
dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli
antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sebagai sistem budaya atau
cultural system.
Dalam bahasa Indonesia terdapat juga
istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini,
yaitu adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut
sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu
sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia
yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lain dari detik ke
detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas
manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret,
terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan
didokumentasikan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut
kebudayaan fisik dan hal ini tidak memerlukan banyak penjelasan, karena berupa
seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat. Maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda,
seperti bangunan hasil seni arsitek, masjid, istana, candi indah, dan
lain-lain.
Di samping itu, kebudayaan terdiri atas
unsur-unsur yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya saling
berkaitan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah:
(1) Bahasa dan Komunikasi;
(2) Ilmu Pengetahuan;
(3) Teknologi;
(4) Ekonomi;
(5) Organisasi Sosial/sistem kemasyarakatan;
(6) Agama; dan
(7) Kesenian.[1]
Berikut ini akan diuraikan perkembangan
peradaban/kebudayaan pada masa Dinasti Bani Umayyah di Damaskus.
Kemajuan ilmu pengetahuan di masa
Dinasti Bani Umayyah meliputi berbagai bidang ilmu, seperti: ilmu-ilmu agama,
bahasa, sejarah, geografi, filsafat, astronomi, matematika, dan fisika atau
ilmu pengetahuan alam. Para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu yang hidup di
masa Dinasti Bani Umayyah sebagian adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
kemudian masuk Islam dan sebagian lagi adalah orang Arab. Mereka semua menulis
karya-karyanya dalam bahasa Arab. Berikut akan diulas secara ringkas tentang
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan bidang agama Islam di masa Dinasti
Bani Umayyah.
Ilmu-ilmu agama merupakan cabang
disiplin ilmu yang pertama kali dikaji oleh orang-orang Arab Muslim.
Sebagaimana diketahui bahwa para sahabat Nabi Muhammad banyak yang mengembara
ke berbagai kota untuk tujuan berdakwah Islamiyah. Sahabat adalah orang yang
hidup semasa Rasulullah Saw. masih hidup dan beriman kepada Allah dan bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sebagian dari mereka ada yang
berpartisipasi dalam berbagai peperangan yang dilakukan oleh umat Muslim.
Dengan banyaknya para sahabat yang pergi mengembara atau berperang maka
bermunculanlah pusat-puaat kajian Islam seperti madrasah-madrasah di berbagai
pelosok negeri.
Kajian-kajian Islam itu pada prinsipnya
bersumber pada Al-Qur'an dan al-Hadits. Berkembangnya ilmu-ilmu agama Islam
seperti ilmu hadis, tafsir, fiqh, dan tasawuf sangat erat kaitannya dengan
perkembangan sosial keagamaan bahkan politik masyarakat Islam yang semakin
kompleks dibandingkan dengan zaman Nabi Saw. Komunitas Muslim pada masa Dinasti
Bani Umayyah bukan saja terdiri atas masyarakat Arab, tetapi meliputi orang
Parsi, Turki, Barbar, dan lain-lain seiring dengan semakin luasnya wilayah yang
dikuasai mulai Andalus sampai Indus. Pusat-pusat kajian Islam pun bermunculan
di seluruh negeri, tetapi yang paling utama adalah terdapat di kota-kota besar
seperti Makkah al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, Kufah, Bashrah, Fustat,
dan Damaskus.
Para ilmuwan dan ulama pada masa Dinasti
Bani Umayyah adalah para tabi'in, generasi setelah sahabat. Tabi'in adalah
ulama generasi sesudah sahabat atau murid-murid para sahabat Rasulullah Saw.,
karena mereka tidak semasa dengannya. Ulama-ulama pada masa tabi'in adalah
murid para sahabat Nabi Saw. seperti Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib,
Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Amr ibn Ash, dan Yazid ibn
Abu Habib. Di antara nama-nama ulama pada masa tabi'in adalah:
1) Laits ibn Sa'ad dan Abdullah ibn Lahi‘ah, ahli
dalam bidang hadis dan fiqh.
2) Ikrimah (w. 723 M), Atha' ibn Abi Rabah (w. 732
M) dan Mujahid (w. 721 M), keduanya ahli tafsir, murid Abdullah ibn Abbas.
3) Atha' ibn Abi Rabah (w. 732 M), ahli fiqh,
murid Abdullah ibn Abbas.
4) Muhamnnad ibn Shihab az-Zuhri (w. 742 M), ahli
hadis, dan perintis penulisan sejarah Islam.
5) Hasan al-Bashri (w. 726 M), ulama berpengaruh
di Basrah, dan sangat intensif menafsirkan Al-Qur'an.
1. Kebudayaan Non Fisik
a. Hadis
Hadis adalah sesuatu yang diriwayatkan
dari Rasulullah Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapannya.
Para sahabat banyak yang meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah Saw.
sendiri karena mereka telah lama bertemu dan bergaul dengannya. Di antara tokoh
para sahabat yang banyak meriwayatkan hadis adalah Aisyah, Umar ibn Khattab,
dan Abu Hurairah. Setelah itu tokoh-tokoh ulama dari kalangan tabi'in banyak
yang mengambil dan meriwayatkan hadis dari kalangan sahabat. Saat itu hadis
belum tersusun dalam bentuk kitab-kitab seperti sekarang ini. Sebelumnya hadis
hanya dihafal dalam ingatan umat Islam dan ditulis dalam bentuk
lembaran-lembaran yang masih berserakan atau belum terkumpulkan.
Namun, setelah hadis banyak dipakai
untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti mendukung golongan politik dan
tercampur dengan bid'ah-bid'ah serta kekhawatiran akan banyaknya para ulama
yang meninggal dunia, barulah dirasakan pentingnya membukukan hadis dalam
bentuk kitab/catatan tertulis. Penyusunan dan pembukuan (tadwin)
lembaran-lembaran hadis menjadi bentuk kitab hadis baru dimulai pada abad ke-2
Hijriyah di masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Beliau sangat
bersemangat untuk melaksanakan tugas tersebut. Beliau memerintahkan kepada
seluruh gubernur di negeri-negeri Islam agar mengumpulkan para ulama yang
banyak menerima hadis dan memiliki catatan lembaran-lembaran hadis agar
dikumpulkan.
Setelah itu hadis yang masih dalam
hapalan segera ditulis. Kemudian dimulailah kegiatan penyusunan dan pembukuan
hadis. Oleh sebab itu, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sangat besar jasanya dalam
bidang tadwin atau pembukuan hadis. Di bawah ini beberapa tokoh atau ulama yang
berperan di bidang ilmu hadis (muhaddis) dan karya mereka:
1) Sufyan ibn Sa‘id ibn Masruq as-Tsauri dari
Bashrah, Irak (wafat 161 H), kitab Hadisnya yang terkenal adalah al-Jami‘
al-Kabir.
2) Abu Abdurrahman Muhammad ibn Abdurrahman ibn
al-Mughirah (wafat 159 H), kitab Hadisnya yang terkenal adalah Kitab as-Sunan.
3) Abdul Malik ibn Abdul Aziz ibn Zuraij (wafat
150 H) yang menyusun Kitab as-Sunan.
4) Mughirah ibn Muqsim ad-Dhabbi (wafat 136 H)
menyusun Kitab al-Faraidh.
5) Za‘idah ibn Qudamah al-Tsaqafi (wafat 61 H)
menyusun Kitab as-Sunan Kitab al-Qiraat, dan Kitab at-Tafsir.
6) Makhul as-Syami (wafat 116 H) menyusun Kitab
as-Sunan fi al-Fiqh dan Kitab al-Masa'il fi al-Fiqh.
7) Sedangkan ahli hadis yang termasyhur masa
Dinasti Bani Umayyah adalah Abdurrahman ibn Amr al-Auza‘i (wafat 159 H), beliau
menyusun Kitab as-Sunan fi al-Fiqh dan Kitab al-Masa'il fi al-Fiqhiyyah.
b. Tafsir
Ilmu tafsir Al-Qur‘an telah ada semenjak
zaman Rasulullah Saw., karena salah satu fungsi beliau adalah sebagai penjelas
utama ayat-ayat suci AlQur'an, kemudian diikuti oleh para sahabat beliau yang
mendapat petunjuk Allah Swt. Di antara ahli tafsir (mufassir) dari kalangan
sahabat yang termasyhur adalah Abdullah ibn Abbas. Ada dua model tafsir yang
berkembang yaitu tafsir bi al-Ma‘tsur (tafsir dengan sunnah Nabi dan qaul sahabat),
dan tafsir bi ar-Ra'yi (tafsir dengan ijtihad dan akal). Tokoh ulama yang
pertama kali menyusun kitab tafsir dalam bentuk lembaran-lembaran adalah
seorang tabi'in bernama Mujahid ibn Jabr (wafat 104 H), Sa‘id ibn Jubair.
Selain Mujahid, terdapat Atha' ibn Abi Rabah (wafat 114 H) dan Ikrimah maula
Ibnu Abbas (wafat 105 H), yang banyak menyandarkan pada ahli tafsir Ibn Abbas,
Ibn Mas'ud dan para sahabat lain. Tetapi ia juga banyak mendapat kritikan dari
beberapa tabi'in karena ia mengambil juga kisah-kisah israiliyat. Sayang sekali
karya-karya para ahli tafsir itu hilang dan tidak diketemukan lagi, tetapi ahli
tafsir terkemuka al-Tabari (310 H) menulis tafsir 30 jilid, dan beberapa hasil
penafsiran para mufassir terdahulu tersebut dikutip oleh Ibn Jarir at-Tabari.
At-Tabari dikenal sebagai ahli tafsir dan sejarah yang mengikuti metode bi
al-ma‘tsur.
c. Fiqh
Pertumbuhan ilmu fiqh tidak dapat
dilepaskan dari dua sumber asli yaitu Al-Qur'an dan al-Hadis. Para ulama pada
generasi pertama biasanya menguasai beberapa disiplin kajian, seperti tafsir,
hadis, dan fiqh. Beberapa sahabat yang terkenal dalam bidang fiqh adalah Umar
ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas.
Mereka mengajarkan fiqh kepada para tabi'in yang menjadi fuqaha pada masanya.
Tempat pendidikan dan pengajaran fiqh di
beberapa masjid, dan madrasah, bahkan di rumah sendiri. Ada dua madrasah yang
terkenal dalam kajian fiqh, yaitu Madrasah ahlu al-Hadis di Madinah yang
dipelopori oleh Imam Malik ibn Anas (w. 179 H), dan di Irak yang dipelopori
oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Di samping sebagai fuqaha, Abu Hanifah juga
intensif melakukan Perdagangan di pasar, sehingga mengetahui seluk-beluk pasar.
Karya Abu Hanifah yang terkenal adalah al-Fiqh al-Akbar. Sedangkan Imam Malik
ibn Anas menulis buku yang monumental yaitu al-Muwatta'.
d. Tasawuf
Pada masa-masa permulaan Islam sudah
berkembang kecenderungan sebagian sahabat yang menekankan kesucian dan
kebebasan pribadi dari godaan-godaan dan noda-noda kehidupan dunia. Ada
beberapa Muslim yang terkenal dengan kehidupan zuhud mereka dengan alasan untuk
menjauhi keburukan kehidupan dunia. Kecenderungan ini sangat penting di
lingkungan orang-orang salih. Tokoh sufi karena kehidupan zuhudnya pada masa
Dinasti Bani Umayyah adalah Hasan al-Bashri (w. 728 M). Ia dikenal sebagai juru
dakwah yang penting dan pernah menjadi qadhi. Ia selalu mentaati ajaran agama
yang ditunjukkan dalam perilakunya yang jujur dan tidak mengenal takut.
Walaupun ia menerima pemerintahan Bani Marwan, tetapi ia tetap memberi kritikan
tajam.
Ketika Abdul Malik menghukum orang-orang
yang tidak setuju terhadap rezim Umayyah, Hasan al-Bashri tetap memberikan
pengajian agama bahwa Tuhan Yang Maha Adil, membebaskan manusia memilih
perbuatan yang benar jika manusia mau. Ketika Hasan ditanya mengenai hal ini
oleh Abdul Malik, ia dengan tegas mengatakan bahwa manusia bebas untuk
melakukan kebaikan, sehingga mampu mempertanggungjawaban secara moral di dunia.
Jawaban ini sangat tegas dan membuat Abdul Malik tidak dapat berbuat banyak
kecuali membiarkannya karena ia sangat masyhur di kalangan masyarakat Bashrah. Karena
kegigihan dan kezuhudannya, maka ia dijuluki sebagai sufi pertama, dan para
sufi belakangan menyandarkan dasar pengetahuan mereka pada Hasan al-Bashri.
e. Ilmu Qiraat dan Nahwu
Di antara ilmu-ilmu agama yang lain
adalah ilmu al-qiraat (ilmu tentang membaca Al-Qur'an) yang dianggap sebagai
peletak dasar utama bagi perkembangan ilmu tafsir di masa-masa berikutnya. Ilmu
ini mengkaji tentang macam-macam qiraat Al-Qur’an dengan berbagai lahjah
(dialek) dan menjadi sangat penting, karena Al-Qur'an saat itu ditulis tanpa
harakat dan titik. Tokoh-tokoh ulama yang termasyhur dalam bidang qiraat
tersebut adalah Nafi' ibn Abdurrahman ibn Abu Nu‘aim al-Madani di kota Madinah
al-Munawwarah. Abdullah ibn Katsir al-Makky maula Amr ibn Alqamah al-Kinani di
kota Mekah (wafat 120 H), Ashim ibn Abu al-Nujud di kota Kufah Irak maula Bani
Judzaimah ibn Malik ibn Nashr (wafat 128 H), dan Abdullah ibn Amir al- Yashabi
(w. 118 H) di kota Damaskus Syiria.
Meskipun bangsa Arab di masa pra-Islam
(Jahiliyah) sebagian besar adalah ummi (tidak dapat membaca dan menulis), namun
bahasa mereka sangat fasih. Bahasa Arab juga merupakan bahasa Al-Qur'an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril As. Al-Qur'an
memiliki keindahan dari segi bahasa dan saatranya. Bahasa Arab pada masa
pra-Islam sangat dipengaruhi oleh perkembangan perubahan kehidupan intelektual,
politik dan agama mereka. Perubahan perubahan itu tampak jalan di dalam tujuan,
pengertian dan cara pengungkapannya. Tujuan bahasa pada masa Jahiliyah
merupakan gambaran kehidupan baduy di pedalaman pedesaan, membangkitkan rasa
permusuhan beserta akibat-akibatnya, seperti menghasut, memfitnah, balas
dendam, membanggakan kemenangan, kemuliaan nenek moyang, berkisah tentang
indahnya pemandangan, cerita, peristiwa, serta lingkungan alam mereka.
Setelah penaklukan-penaklukan yang
berhasil dicapai umat Muslim, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa-bahasa
lokal yang ada terlebih dahulu. Di Syam bahasa Arab bercampur dengan bahasa
Romawi (Rum) dan Siryani, di Mesir bercampur dengan bahasa Qibthi, di Irak dan
Persia bercampur dengan bahasa Ajam setempat, dan di Maroko (Magrib) bercampur
dengan bahasa Barbar. Setelah negeri-negeri yang ditaklukkan itu masuk Islam
maka dirasakan adanya kebutuhan untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa agar
orang-orang yang tidak berbahasa Arab sebagai bahasa sehari-harinya atau
negeri-negeri di luar Arab tidak salah dalam mengungkapkan bahasa.
Tokoh ulama atau ilmuwan pertama yang
menggeluti bidang bahasa adalah Abu al-Aswad ad-Du'ali. Beliau adalah tokoh
ulama ahli ilmu Nahwu dari Bashrah, Irak. Setelah itu muncul tokoh-tokoh lain
yang juga menggeluti bidang bahasa dan tata bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, dan
Balaghah) ini. mereka adalah juga murid-murid Abu al-Aswad ad-Du'ali. Di antara
mereka adalah Yahya ibn Ya‘mar, Anbasah ibn Ma‘dan, Maimun al-Aqran, dan Isa
ibn Umar as-Saqafi. Yang terakhir ini adalah tokoh terkemuka ahli ilmu Nahwu
dari Bashrah. Dari beliau muncul tokoh ahli bahasa yang lain yaitu al-Khalil
ibn Ahmad al-Farahidi (wafat 170 H) yang menyusun kitab al-Mukammil. Selain itu
beliau juga menyusun berbagai kamus (mu'jam) bahasa Arab dan menyusun ilmu
(kaidah-kaidah) cara penggubahan syair yang disebut dengan ilmu Arudh. Di
antara karya-karyanya yang lain adalah Kitab al-Ain. Kitab al-Nagham, Kitab
al-Arudh, Kitab as-Syawahid, Kitab al-Nuqath wa as-Syakl, Kitab Fa’it al-Ain,
dan Kitab al-Iqa'. Termasuk murid Abu al-Aswad ad-Du'ali adalah Yunus ibn Habib
(wafat 183 H) maula Bani Laits ibn Bakr. beliau adalah ulama yang paling
memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam ilmu Nahwu.
f. Arudh dan Syair
Pemerintah Dinasti Bani Umayyah sangat
memperhatikan bahasa Arab setelah mereka berasimilasi dengan bangsa-bangsa lain
non-Arab, saperti kelompok Mawali di Persia, dan masyarakat Barbar di Maroko
(Magrib) Afrika Utara. Bahkan pemerintah Dinasti Bani Umayyah di masa khalifah
ke-5, Abdul Malik ibn Marwan menerapkan kebijakan Arabisasi, yang membuat semua
unsur yang terlibat dalam pemerintahan seperti pejabat pemerintah pusat,
gubernur, dan tentara harus terdiri atas bangsa Arab. Korespondensi dari pusat
ke daerah atau sebaliknya harus menggunakan bahasa Arab. Tidak hanya itu, semua
catatan keuangan negara di Baitul Mal baik di pusat maupun daerah harus
menggunakan angka dan huruf Arab. Khalifah pun mengganti mata uang yang
dikeluarkan pemerintah Bizantium dan Persia dengan mata uang yang dicetak
sendiri yang ada tulisan Arabnya.
Sebegitu pentingnya bahasa Arab bagi
Dinasti Bani Umayyah maka perlu diupayakan untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa
Arab untuk menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan khususnya di
daerah-daerah yang bukan berpenduduk bangsa Arab atau yang tidak menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa aslinya. Di samping penyusunan kaidah-kaidah bahasa,
disusun pula kamus-kamus (mu'jam) yang mengumpulkan kosakata-kosakata bahasa
Arab dari daerah pedalaman (Baduy), karena bahasa Arab Baduy merupakan bahasa
Arab yang masih asli dan murni serta belum bercampur dengan bahasa lain.
Tokoh yang berjasa dalam penyusunan
kamus bahasa Arab di masa itu adalah al-Khalil ibn Ahmad al-Azdi (al-Farahidi).
Selain menyusun kamus beliau juga meletakkan dasar-dasar qiyas penulisan
syair-syair Arab berikut wazan, qafiyah, dan baharnya yang kesemuanya itu
terkumpul dalam ilmu Arudh. Munculnya ilmu tersebut dikarenakan sejak abad ke-2
H tidak jarang timbul kesalahan dalam penggubahan Syair Arab. Banyak penyair
yang menggubah bait-bait syair tidak menuruti aturan dan bentuk syair Arab yang
lazim atau pola konvensional syair. Di pondok-pondok pesantren salafiyah
(tradisional) di Indonesia pada umumnya, ilmu Arudh merupakan salah satu cabang
ilmu bahasa yang diajarkan kepada para santrinya agar dapat membaca syair-syair
Arab yang terdapat di dalam kitab-kitab berbahasa Arab, seperti Nahwu, Sharaf,
dan Balaghah.
Sejak zaman Jahiliyah syair merupakan
salah satu jenis seni bahasa yang sangat digemari bangsa Arab. Syair
didendangkan dalam berbagai pertemuan, di pasar, dan tempat-tempat lainnya.
Bangsa Arab secara naluri berkarakter sebagai penyair karena lingkungannya yang
sangat kondusif. Arab Baduy misalnya, dapat hidup bebas dan tidak tunduk kepada
penguasa atau peraturan-peraturan tertentu. Mereka lebih cenderung dikuasai
perasaannya (dzauq) yang merupakan faktor potensial untuk mendorongnya dalam
menggubah syair. Oleh karena itu bukan hal yang aneh jika syair dan penyair
lahir dalam setiap generasi. Pada saat itu syair berkembang sesuai dengan
imajinasi penyairnya. Para penyair pun banyak bermunculan di tiap-tiap kabilah
Arab. Penyair, kepala suku (pemimpin), dan orator (ahli pidato/khatib) memiliki
kedudukan yang sangat terhormat dalam kabilahnya. Bahkan, konon bangsa Arab
tidak mengucapkan ucapan selamat kecuali karena tiga hal:
1) Munculnya seorang penyair
2) Lahirnya seekor anak kuda kesayangannya, dan
3) Lahirnya seorang anak laki-laki.
Syair-syair Arab yang berkembang di masa
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah ini berbeda orientasinya dengan syair-syair
yang telah berkembang terlebih dahulu di masa Jahiliyah. Maka muncullah di masa
itu syair ghazal yang penuh dengan nuansa cinta dan erotisme yang dikembangkan
oleh pujangga Umar ibn Abu Rabi‘ah di Hijaz. Muncul pula syair-syair politik
sebagai akibat dari munculnya kelompok-kelompok (partai) politik di masa itu,
seperti Syi'ah dan Khawarij. Syair-syair politik ini dikenal dengan sebutan
as-Syi‘r al-Hizbi. Biasanya syair-syair politik ini digunakan sebagai sarana
(alat) untuk mendukung gerakan politik tertentu. Maka tidak heran jika ada
penyair (pujangga) yang mendapat cobaan-cobaan berat (tekanan dan siksaan) dari
pemerintah yang berkuasa saat itu. Seperti yang dialami oleh penyair Ubaidillah
ibn Qais ar-Ruqiyat dari kelompok pendukung gerakan Abdullah ibn Zubair dan
al-Kumait ibn Zaid al-Asadi dari kelompok pendukung Syi'ah.
Di samping itu banyak pula penyair yang
memang menjadi pendukung pemerintah yang berkuasa saat itu. Mereka ini
mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah sebagai balasan atas dukungan
mereka terhadap kebijakan-kebijkan politiknya. Di antara mereka adalah penyair
bernama al-Farazdaq yang menjadi pujangga di istana Khalifah Abdul Malik ibn
Marwan dan putra-putranya yang juga menjadi khalifah sesudahnya seperti
al-Walid, Sulaiman, dan Yazid. Selain itu, penyair Jarir yang menjadi pujangga
di kantor gubernuran Irak di masa Gubernur al-Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi dan
penyair al-Akhthal yang menjadi pujangga Khalifah Muawiyah dan putra-putranya.
Di samping penyair yang mendukung
pemerintah ada pula penyair yang sangat kental dengan sifat dan sikap yang
membanggakan primordialisme kesukuannya (ashabiyyah) karena terjadinya
pertentangan dan persaingan antara dua suku Arab besar yaitu Qaisiyah-Nizariyah
dan Yamaniyah-Qahthaniyah. Seperti penyair al-Kumait ibn Zaid al-Asadi dari suku
Qaisiyah-Nizariyah dan Da‘bal al-Khuza'i dari suku Yamaniyah-Qahthaniyah.
g. Teologi (Ilmu Kalam)
Di masa pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah muncul gerakan-gerakan dalam bidang pemikiran dan filsafat, seperti
Jabariyah, Qadariyah, dan Mu‘tazilah. Aliran Jabariyah berpendapat bahwa Allah
memiliki kekuasaan mutlak terhadap kehendak dan perbuatan manusia. Dengan
demikian, manusia menurut aliran ini tidak memiliki kehendak dan perbuatan
karena semuanya sudah ditentukan (ditakdirkan) oleh Allah, dalam kata lain
manusia adalah majbur (terpaksa). Pelopor aliran gerakan Jabariyah ini adalah
Jahm ibn Shafwan. Para pengikutnya dinamakan kelompok Jahmiyah. Aliran
Qadariyah muncul sebagai reaksi atas Jabariyah. Aliran ini menolak pendapat
aliran Jabariyah. Menurut aliran Qadariyah manusia itu memiliki kehendak dan
perbuatannya sendiri yang tidak ditentukan oleh Allah. Aliran Qadariyah ini
menentang (beroposisi) terhadap pemerintah Dinasti Bani Umayyah karena
berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kebebasan untuk memilih.
Selain itu, ada pula aliran Mu'tazilah
yang baru muncul pada permulaan abad kedua Hijriyah di Bashrah. Penamaan
Mu'tazilah dinisbatkan kepada tokohnya, Wasil ibn Atha' yang memisahkan diri
(I'tazala) dari halaqah (pengajian) ulama Bashrah terkenal yaitu Imam Hasan
al-Bashri. Menurut aliran ini, orang mukmin yang berbuat dosa besar maka ia
berada pada posisi antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilatain) antara
mukmin dan kafir, Aliran ini juga berpendapat bahwa dengan akalnya manusia
dapat menentukan mana yang baik dan buruk, manusia bebas berkehendak dan
berbuat karena Allah tidak menciptakan perbuatan manusia itu, justru manusialah
yang menciptakan kehendak dan perbuatannya sendiri. Seperti halnya aliran
Qadariyah, aliran Mu'tazilah ini juga beroposisi terhadap pemerintah Dinasti
Bani Umayyah. Oleh karenanya banyak tokoh-tokohnya yang mendapat tekanan dan
cobaan dari pemerintah. Padahal para khalifah Dinasti Bani Umayyah ini banyak
yang menjadi pengikut aliran Mu'tazilah ini. Di antara mereka adalah Khalifah
Yazid II ibn al-Walid dan Marwan ibn Hakam yang dijuluki dengan al-Ja'di karena
beliau mengikuti pendapat tokoh Mu'tazilah bernama Ja‘ad ibn Dirham.
h. Sejarah
Selain syair, kajian tentang ilmu
sejarah juga berkembang sejalan dengan adanya kajian tentang sirah nabawiyah
atau perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw, berita-berita peperangan yang dialami
beliau beserta sahabat, dan berita-berita tentang hijrahnya para sahabat dan
Nabi Muhammad Saw. baik yang ke Habasyah (Ethiopia) maupun ke Yatsrib (Madinah
al-Munawwarah). Oleh karena itulah maka kota Makkah al-Mukarramah dan Madinah
al-Munawwarah dianggap sebagi pusat gerakan kajian ilmu sejarah. Para sejarawan
Muslim pada masa awal banyak mengandalkan sumber-sumber lisan dalam penulisan
sejarahnya. Metode yang digunakan dalam pengumpulan sumber-sumber itu hampir
sama dengan metode penelitian ilmu Hadis, yaitu metode Isnad.
Kitab-kitab sejarah yang berhasil
disusun pertama kali adalah al-Maghazi dan as-Sirah. Melalui kedua kitab
tersebut umat Islam terdorong untuk mengikuti perilaku Nabi Muhammad Saw. dan
berpegang pada syariat Islam. Kota Madinah al-Munawwarah menjadi pusat gerakan
kajian ilmu sejarah karena menjadi tempat tinggal Rasulullah dan para
sahabatnya. Sehingga para tabi‘in banyak yang belajar dan menimba ilmu serta
menggali infomasi dari para sahabat di Madinah.
Para sejarawan penulis al-Maghazi dan
as-Sirah mazhab Madinah dan Mekah terbagi dalam tiga tingkatan (thabaqat).
1) Tingkatan pertama adalah Aban ibn Usman ibn Affan (wafat 105 H), beliau adalah putra
khalifah ketiga yaitu Usman ibn Affan. Urwah ibn Zubair (92 H) beliau banyak
meriwayatkan hadis-hadis yang diperolehnya dari ayahnya, Zubair ibn Awwam, dari
ibunya, Asma binti Abu Bakar as-Siddiq, dari bibinya, Aisyah binti Abu Bakar
as-Siddiq yang juga adalah ummul-mukminin istri Rasulullah. Dari Urwah ibn
Zubair muncul muridnya Ibn Syihab az-Zuhri (wafat 124 H) dan putranya, Hisyam
ibn Urwah.
2) Tingkatan kedua
adalah Abdullah ibn Abu Bakar ibn Hazm al-Anshari (wafat 135 H) dan Ashim ibn
Amr ibn Qatadah al-Anshari (wafat 120 H). Ashim secara khusus diminta oleh
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz untuk mengajar di Masjid Umayyah di Damaskus
tentang peperangan-peperangan yang dialami Rasulullah dan biografi para
sahabat-sahabatnya. Dari Ashim ini muncul sejarawan-sejarawan terkenal seperti
Ibn Ishaq, al-Waqidi, dan terakhir Ibn Syihab az-Zuhri. Ibn Syihab az-Zuhri
dianggap sebagai sejarawan penulis al-Maghazi dan as-Sirah terbesar dalam
mazhab Madinah dan Mekah.
3) Tingkatan ketiga
adalah Muhammad ibn Ishaq (wafat 150 H) yang merupakan murid kesayangan dan
termasyhur dari Ibn Syihab az-Zuhri, beliau berasal dari Persia. Pada masa ini
ilmu sejarah sudah berdiri kokoh. Karyanya yang sangat terkenal adalah as-Sirah
an-Nabawiyah, yang lebih dikenal dengan Sirah ibn Ishaq. Karyanya ini tidak
sampai ke kita sekarang, tetapi sebagian besar di antaranya dikutip oleh
sejarawan sesudahnya, terutama oleh ibn Hisyam di dalam karyanya as-Sirah
an-Nabawiyah atau Sirah ibn Hisyam. Tokoh lainnya adalah Muhammad ibn Umar
al-Waqidi (wafat 207 H) maula Bani Hasyim. Al-Waqidi dikenal lebih unggul
daripada Ibn Hisyam dari segi ketelitiannya dalam penulisan materi sejarah,
gaya bahasa, dan ketepatan dalam penentuan letak-letak geografis.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
bahwa pada masa Dinasti Bani Umayyah perkembangan ilmu pengetahuan lebih
terlihat pada ilmu di bidang agama, terutama hadis, tafsir, fiqh, tasawuf, dan
teologi. Hal ini merupakan konskuensi logis dari diakuinya Al-Qur'an dan
al-Hadis sebagai dasar utama bagi umat Islam dan sekaligus sebagai pegangan
dalam kehidupan di dunia. Dampak perkembangan ilmu pengetahuan agama pada
perkembangan umat Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Dalam kehidupan sosial keagamaan, umat Islam
mempunyai landasan kuat karena di samping Al-Qur'an dan al-Hadis, telah lahir
beberapa disiplin ilmu lain seperti tafsir, fiqh, tasawuf, teologi, yang dapat
dipakai sebagai acuan dalam kehidupan mereka dalam rangka mengembangkan umat
Islam.
2) Dalam kehidupan keagamaan, umat Islam mempunyai
beberapa alternatif pilihan karena lahirnya beberapa ahli di bidang fiqh,
teologi, dan seterusnya, hal ini sangat berimplikasi pada kemudahan menjalankan
ajaram ajaran Islam. Walau demikian, beberapa perbedaan pandangan dalam
beberapa disiplin ilmu tersebut acapkali membuat umat Islam terjerumus pada
sikap saling menjelekkan bahkan berujung pada kekerasan.
3) Umat Islam dapat berpartisipasi secara aktif
dalam berbagai bidang keilmuan. Hal ini terbukti dengan maraknya kajian-kajian
baik yang menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan, atau di tempat-tempat
netral lain nya.
4) Khazanah yang dihasilkan oleh para ulama
tabi‘in merupakan warisan intelektual Islam yang sangat berpengaruh pada
generasi kemudian.
i. Kedokteran dan Kimia
Pengobatan ilmiah Arab sumber utamanya
dari Yunani, dan sebagian lagi dari Persia. Pengobatan Persia sendiri
dipengaruhi oleh tradisi Yunani. Daftar urutan teratas dokter-dokter Arab pada abad
pertama Islam ditempati oleh al-Haris ibn Kaladah (w. 634) dari Taif yang
menuntut ilmu di Persia. Al-Haris adalah orang pertama yang dididik secara
ilmiah di Semenanjung Arab dan memperoleh gelar kehormatan sebagai “dokter
orang Arab”. Karir al Haris sebagai ahli pengobatan diteruskan oleh anaknya
bernama an-Nazdr, yang masih ada hubungan famili dengan Nabi Saw.
Pada masa penaklukan Arab di Asia Barat,
ilmu pengetahuan Yunani mengalami kemunduran. Namun, banyak dokter dari Yunani
dan dokter yang belajar dari Yunani bekerja sebagai dokter di lingkungan para
elit Dinasti Bani Umayyah. Dokter yang paling menonjol pada awal Dinasti Bani
Umayyah adalah Ibn Utsal, dokter pribadi Muawiyah, yang beragama Kristen, dan
Tayazhuq, dokter al-Hajjaj dari Yunani. Seorang dokter Yahudi dari Persia,
Masarjawayh, yang tinggal di Basrah pada masa-masa awal pemerintahan Marwan ibn
Hakam, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab sebuah naskah Suriah tentang
pengobatan yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta
Kristen di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah pertama dalam bahasa
Arab. Khalifah al-Walid merupakan tokoh yang membuat kebijakan memberi
perawatan khusus di tempat terpisah untuk penderita Penyakit lepra. Khalifah
Umar II diriwayatkan telah memindahkan sekolah kedokteran dari Iskandariyah,
tempat tumbuh suburnya tradisi Yunani, ke Antiokia dan Harran.
Ilmu Kimia, sama dengan ilmu kedokteran
adalah salah satu disiplin ilmu yang juga ikut dikembangkan oleh penguasa
Dinasti Bani Umayyah. Khalid (w. 704) putra Khalifah Umayyah II, merupakan
orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan bahasa
Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi. Hal ini membuktikan bahwa
bangsa Arab menggali tradisi ilmiah dari sumber-sumber Yunani, dan peran
penguasa sebagai fasilitator penggerak pengembangan ilmu pengetahuan cukup
besar. (Philip K. Hitti, 2005: 319-320).
2. Kebudayaan Fisik
a. Arsitektur Bangunan
Seni bangunan zaman Dinasti Bani Umayyah
dapat dilihat pada kota-kota dan masjid-masjid. Arsitekturnya merupakan
perpaduan gaya Parsi Romawi dan Islam. Damaskus sebelum Islam merupakan ibu
kota kerajaan Romawi Timur di Syam, dan oleh Muawiyah dibangun kembali sebagai
ibu kota pemerintahannya. Di Damaskus, Muawiyah membangun kembali gedung-gedung
indah, dilengkapi dengan jalan-jalan dan taman rekreasi. Dia juga membangun
istana hijau di Miyata pada tahun 704, istana itu direhab kembali oleh al-Walid
ibn Abdul Malik.
Pada masa al-Walid, dibangun masjid
Damaskus dengan arsitek Abu Ubaidah ibn Jarrah. Bangunan itu diselesaikan
dengan mendatangkan 12.000 tukang bangunan dari Romawi. Masjid ini dibangun
dengan ukuran 300 x 200 meter persegi, memiliki 68 pilar, dilengkapi
dinding-dinding berukir yang indah. Kubah masjid agung Damaskus berbentuk tapak
besi kuda bulat, pertemuan dari garis-garis ke titiknya dibayangkan oleh kaki
tiang di atasnya. Di atas jalan beratap lengkung besar, di sekelilingnya
terdapat sahn (puncak-puncak barisan ambang pintu yang berbentuk setengah
bundar). Di sekeliling masjid terdapat empat buah mercu yang merupakan bangunan
peninggalan Yahudi, oleh orang Islam hanya diambil satu mercu saja dijadikan
menara tempat azan. Menara tersebut terletak di sebelah tenggara masjid.
Ruangan dalam masjid Damaskus dihiasi ukiran-ukiran indah, marmer-marmer halus
(mosaics) dan pintu-pintu dipasang memakai kaca-kaca berwarna-warni. (Philip K.
Hitti, 2005 :334).
Salah satu kota yang dibangun pada zaman
Dinasti bani Umayyah di Damaskus adalah kota Kaimwan, yang didirikan oleh Uqbah
bin Nafi ketika menjadi gubernur di Wilayah ini. Kairouwan dibangun dengan
memodifikasi gaya Islam, Parsi dan Romawi, dilengkapi dengan mendirikan
gedung-gedung, masjid, taman rekreasi, pangkalan militer dan kelengkapan
lainnya. Kota ini kemudian menjadi kota metropolitan dan internasional, di
dalamnya hidup secara berdampingan bangsa-hangsa Arab, Barbar, Persia, Romawi,
Qibti, Yahudi dan lain-lain.
Uqbah juga membangun masjid agung
kairouwan, dan pada tahun 670 oleh Gubernur Hisyam bin Abdul Malik direhab
sehingga sampai saat ini menjadi masjid kebanggaan kaum muslimin di Afrika
Utara, terutama kubahnya yang terkenal “Qubbah Bhawi.”
Masjid Agung Umayyah |
Masjid Kairouwan |
[1] Parsudi Suparlan, 1986, hal: 1-17, J .J . Honigmann, 1959: 11-12,
Koentjaraningrat, 1984, 186-187
Materi Berikutnya >> NEXT
Menu Utama Klik >> DAFTAR ISI
Materi Berikutnya >> NEXT
Menu Utama Klik >> DAFTAR ISI
Post a Comment