Header Ads

Buku SKI

Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan di Masa Umayyah


Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan, yang secara selektif digunakan oleh para pendukung atau pelakunya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan bendabenda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Di sini, kebudayaan dilihat sebagai sistem pemikiran dan pengetahuan, sebab pemahaman seperti ini oleh para ahli antropologi dipandang lebih dinamis guna memahami masalah-masalah sosial di masyarakat.

Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu:
(1)    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
(2)    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan
(3)    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala manusia atau dengan perkataan lain, ada dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Jika warga masyarakat menyatakan gagasan mereka dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis tersebut. Dewasa ini, kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi, micro film dan microfish, kartu komputer dan silinder, dan pita komputer. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa pada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sebagai sistem budaya atau cultural system.

Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat istiadat untuk bentuk jamaknya.

Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi disekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan hal ini tidak memerlukan banyak penjelasan, karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda, seperti bangunan hasil seni arsitek, masjid, istana, candi indah, dan lain-lain.

Di samping itu, kebudayaan terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya saling berkaitan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah:
(1)    Bahasa dan Komunikasi;
(2)    Ilmu Pengetahuan;
(3)    Teknologi;
(4)    Ekonomi;
(5)    Organisasi Sosial/sistem kemasyarakatan;
(6)    Agama; dan
(7)    Kesenian.[1]

Berikut ini akan diuraikan perkembangan peradaban/kebudayaan pada masa Dinasti Bani Umayyah di Damaskus.

Kemajuan ilmu pengetahuan di masa Dinasti Bani Umayyah meliputi berbagai bidang ilmu, seperti: ilmu-ilmu agama, bahasa, sejarah, geografi, filsafat, astronomi, matematika, dan fisika atau ilmu pengetahuan alam. Para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu yang hidup di masa Dinasti Bani Umayyah sebagian adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang kemudian masuk Islam dan sebagian lagi adalah orang Arab. Mereka semua menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Berikut akan diulas secara ringkas tentang perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan bidang agama Islam di masa Dinasti Bani Umayyah.

Ilmu-ilmu agama merupakan cabang disiplin ilmu yang pertama kali dikaji oleh orang-orang Arab Muslim. Sebagaimana diketahui bahwa para sahabat Nabi Muhammad banyak yang mengembara ke berbagai kota untuk tujuan berdakwah Islamiyah. Sahabat adalah orang yang hidup semasa Rasulullah Saw. masih hidup dan beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sebagian dari mereka ada yang berpartisipasi dalam berbagai peperangan yang dilakukan oleh umat Muslim. Dengan banyaknya para sahabat yang pergi mengembara atau berperang maka bermunculanlah pusat-puaat kajian Islam seperti madrasah-madrasah di berbagai pelosok negeri.

Kajian-kajian Islam itu pada prinsipnya bersumber pada Al-Qur'an dan al-Hadits. Berkembangnya ilmu-ilmu agama Islam seperti ilmu hadis, tafsir, fiqh, dan tasawuf sangat erat kaitannya dengan perkembangan sosial keagamaan bahkan politik masyarakat Islam yang semakin kompleks dibandingkan dengan zaman Nabi Saw. Komunitas Muslim pada masa Dinasti Bani Umayyah bukan saja terdiri atas masyarakat Arab, tetapi meliputi orang Parsi, Turki, Barbar, dan lain-lain seiring dengan semakin luasnya wilayah yang dikuasai mulai Andalus sampai Indus. Pusat-pusat kajian Islam pun bermunculan di seluruh negeri, tetapi yang paling utama adalah terdapat di kota-kota besar seperti Makkah al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, Kufah, Bashrah, Fustat, dan Damaskus.

Para ilmuwan dan ulama pada masa Dinasti Bani Umayyah adalah para tabi'in, generasi setelah sahabat. Tabi'in adalah ulama generasi sesudah sahabat atau murid-murid para sahabat Rasulullah Saw., karena mereka tidak semasa dengannya. Ulama-ulama pada masa tabi'in adalah murid para sahabat Nabi Saw. seperti Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Amr ibn Ash, dan Yazid ibn Abu Habib. Di antara nama-nama ulama pada masa tabi'in adalah:
1)      Laits ibn Sa'ad dan Abdullah ibn Lahi‘ah, ahli dalam bidang hadis dan fiqh.
2)      Ikrimah (w. 723 M), Atha' ibn Abi Rabah (w. 732 M) dan Mujahid (w. 721 M), keduanya ahli tafsir, murid Abdullah ibn Abbas.
3)      Atha' ibn Abi Rabah (w. 732 M), ahli fiqh, murid Abdullah ibn Abbas.
4)      Muhamnnad ibn Shihab az-Zuhri (w. 742 M), ahli hadis, dan perintis penulisan sejarah Islam.
5)      Hasan al-Bashri (w. 726 M), ulama berpengaruh di Basrah, dan sangat intensif menafsirkan Al-Qur'an.

1. Kebudayaan Non Fisik

a. Hadis

Hadis adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapannya. Para sahabat banyak yang meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah Saw. sendiri karena mereka telah lama bertemu dan bergaul dengannya. Di antara tokoh para sahabat yang banyak meriwayatkan hadis adalah Aisyah, Umar ibn Khattab, dan Abu Hurairah. Setelah itu tokoh-tokoh ulama dari kalangan tabi'in banyak yang mengambil dan meriwayatkan hadis dari kalangan sahabat. Saat itu hadis belum tersusun dalam bentuk kitab-kitab seperti sekarang ini. Sebelumnya hadis hanya dihafal dalam ingatan umat Islam dan ditulis dalam bentuk lembaran-lembaran yang masih berserakan atau belum terkumpulkan.

Namun, setelah hadis banyak dipakai untuk kepentingan-kepentingan tertentu seperti mendukung golongan politik dan tercampur dengan bid'ah-bid'ah serta kekhawatiran akan banyaknya para ulama yang meninggal dunia, barulah dirasakan pentingnya membukukan hadis dalam bentuk kitab/catatan tertulis. Penyusunan dan pembukuan (tadwin) lembaran-lembaran hadis menjadi bentuk kitab hadis baru dimulai pada abad ke-2 Hijriyah di masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Beliau sangat bersemangat untuk melaksanakan tugas tersebut. Beliau memerintahkan kepada seluruh gubernur di negeri-negeri Islam agar mengumpulkan para ulama yang banyak menerima hadis dan memiliki catatan lembaran-lembaran hadis agar dikumpulkan.

Setelah itu hadis yang masih dalam hapalan segera ditulis. Kemudian dimulailah kegiatan penyusunan dan pembukuan hadis. Oleh sebab itu, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sangat besar jasanya dalam bidang tadwin atau pembukuan hadis. Di bawah ini beberapa tokoh atau ulama yang berperan di bidang ilmu hadis (muhaddis) dan karya mereka:
1)      Sufyan ibn Sa‘id ibn Masruq as-Tsauri dari Bashrah, Irak (wafat 161 H), kitab Hadisnya yang terkenal adalah al-Jami‘ al-Kabir.
2)      Abu Abdurrahman Muhammad ibn Abdurrahman ibn al-Mughirah (wafat 159 H), kitab Hadisnya yang terkenal adalah Kitab as-Sunan.
3)      Abdul Malik ibn Abdul Aziz ibn Zuraij (wafat 150 H) yang menyusun Kitab as-Sunan.
4)      Mughirah ibn Muqsim ad-Dhabbi (wafat 136 H) menyusun Kitab al-Faraidh.
5)      Za‘idah ibn Qudamah al-Tsaqafi (wafat 61 H) menyusun Kitab as-Sunan Kitab al-Qiraat, dan Kitab at-Tafsir.
6)      Makhul as-Syami (wafat 116 H) menyusun Kitab as-Sunan fi al-Fiqh dan Kitab al-Masa'il fi al-Fiqh.
7)      Sedangkan ahli hadis yang termasyhur masa Dinasti Bani Umayyah adalah Abdurrahman ibn Amr al-Auza‘i (wafat 159 H), beliau menyusun Kitab as-Sunan fi al-Fiqh dan Kitab al-Masa'il fi al-Fiqhiyyah.

b. Tafsir

Ilmu tafsir Al-Qur‘an telah ada semenjak zaman Rasulullah Saw., karena salah satu fungsi beliau adalah sebagai penjelas utama ayat-ayat suci AlQur'an, kemudian diikuti oleh para sahabat beliau yang mendapat petunjuk Allah Swt. Di antara ahli tafsir (mufassir) dari kalangan sahabat yang termasyhur adalah Abdullah ibn Abbas. Ada dua model tafsir yang berkembang yaitu tafsir bi al-Ma‘tsur (tafsir dengan sunnah Nabi dan qaul sahabat), dan tafsir bi ar-Ra'yi (tafsir dengan ijtihad dan akal). Tokoh ulama yang pertama kali menyusun kitab tafsir dalam bentuk lembaran-lembaran adalah seorang tabi'in bernama Mujahid ibn Jabr (wafat 104 H), Sa‘id ibn Jubair. Selain Mujahid, terdapat Atha' ibn Abi Rabah (wafat 114 H) dan Ikrimah maula Ibnu Abbas (wafat 105 H), yang banyak menyandarkan pada ahli tafsir Ibn Abbas, Ibn Mas'ud dan para sahabat lain. Tetapi ia juga banyak mendapat kritikan dari beberapa tabi'in karena ia mengambil juga kisah-kisah israiliyat. Sayang sekali karya-karya para ahli tafsir itu hilang dan tidak diketemukan lagi, tetapi ahli tafsir terkemuka al-Tabari (310 H) menulis tafsir 30 jilid, dan beberapa hasil penafsiran para mufassir terdahulu tersebut dikutip oleh Ibn Jarir at-Tabari. At-Tabari dikenal sebagai ahli tafsir dan sejarah yang mengikuti metode bi al-ma‘tsur.

c. Fiqh

Pertumbuhan ilmu fiqh tidak dapat dilepaskan dari dua sumber asli yaitu Al-Qur'an dan al-Hadis. Para ulama pada generasi pertama biasanya menguasai beberapa disiplin kajian, seperti tafsir, hadis, dan fiqh. Beberapa sahabat yang terkenal dalam bidang fiqh adalah Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas. Mereka mengajarkan fiqh kepada para tabi'in yang menjadi fuqaha pada masanya.

Tempat pendidikan dan pengajaran fiqh di beberapa masjid, dan madrasah, bahkan di rumah sendiri. Ada dua madrasah yang terkenal dalam kajian fiqh, yaitu Madrasah ahlu al-Hadis di Madinah yang dipelopori oleh Imam Malik ibn Anas (w. 179 H), dan di Irak yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Di samping sebagai fuqaha, Abu Hanifah juga intensif melakukan Perdagangan di pasar, sehingga mengetahui seluk-beluk pasar. Karya Abu Hanifah yang terkenal adalah al-Fiqh al-Akbar. Sedangkan Imam Malik ibn Anas menulis buku yang monumental yaitu al-Muwatta'.

d. Tasawuf

Pada masa-masa permulaan Islam sudah berkembang kecenderungan sebagian sahabat yang menekankan kesucian dan kebebasan pribadi dari godaan-godaan dan noda-noda kehidupan dunia. Ada beberapa Muslim yang terkenal dengan kehidupan zuhud mereka dengan alasan untuk menjauhi keburukan kehidupan dunia. Kecenderungan ini sangat penting di lingkungan orang-orang salih. Tokoh sufi karena kehidupan zuhudnya pada masa Dinasti Bani Umayyah adalah Hasan al-Bashri (w. 728 M). Ia dikenal sebagai juru dakwah yang penting dan pernah menjadi qadhi. Ia selalu mentaati ajaran agama yang ditunjukkan dalam perilakunya yang jujur dan tidak mengenal takut. Walaupun ia menerima pemerintahan Bani Marwan, tetapi ia tetap memberi kritikan tajam.

Ketika Abdul Malik menghukum orang-orang yang tidak setuju terhadap rezim Umayyah, Hasan al-Bashri tetap memberikan pengajian agama bahwa Tuhan Yang Maha Adil, membebaskan manusia memilih perbuatan yang benar jika manusia mau. Ketika Hasan ditanya mengenai hal ini oleh Abdul Malik, ia dengan tegas mengatakan bahwa manusia bebas untuk melakukan kebaikan, sehingga mampu mempertanggungjawaban secara moral di dunia. Jawaban ini sangat tegas dan membuat Abdul Malik tidak dapat berbuat banyak kecuali membiarkannya karena ia sangat masyhur di kalangan masyarakat Bashrah. Karena kegigihan dan kezuhudannya, maka ia dijuluki sebagai sufi pertama, dan para sufi belakangan menyandarkan dasar pengetahuan mereka pada Hasan al-Bashri.

e. Ilmu Qiraat dan Nahwu

Di antara ilmu-ilmu agama yang lain adalah ilmu al-qiraat (ilmu tentang membaca Al-Qur'an) yang dianggap sebagai peletak dasar utama bagi perkembangan ilmu tafsir di masa-masa berikutnya. Ilmu ini mengkaji tentang macam-macam qiraat Al-Qur’an dengan berbagai lahjah (dialek) dan menjadi sangat penting, karena Al-Qur'an saat itu ditulis tanpa harakat dan titik. Tokoh-tokoh ulama yang termasyhur dalam bidang qiraat tersebut adalah Nafi' ibn Abdurrahman ibn Abu Nu‘aim al-Madani di kota Madinah al-Munawwarah. Abdullah ibn Katsir al-Makky maula Amr ibn Alqamah al-Kinani di kota Mekah (wafat 120 H), Ashim ibn Abu al-Nujud di kota Kufah Irak maula Bani Judzaimah ibn Malik ibn Nashr (wafat 128 H), dan Abdullah ibn Amir al- Yashabi (w. 118 H) di kota Damaskus Syiria.

Meskipun bangsa Arab di masa pra-Islam (Jahiliyah) sebagian besar adalah ummi (tidak dapat membaca dan menulis), namun bahasa mereka sangat fasih. Bahasa Arab juga merupakan bahasa Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril As. Al-Qur'an memiliki keindahan dari segi bahasa dan saatranya. Bahasa Arab pada masa pra-Islam sangat dipengaruhi oleh perkembangan perubahan kehidupan intelektual, politik dan agama mereka. Perubahan perubahan itu tampak jalan di dalam tujuan, pengertian dan cara pengungkapannya. Tujuan bahasa pada masa Jahiliyah merupakan gambaran kehidupan baduy di pedalaman pedesaan, membangkitkan rasa permusuhan beserta akibat-akibatnya, seperti menghasut, memfitnah, balas dendam, membanggakan kemenangan, kemuliaan nenek moyang, berkisah tentang indahnya pemandangan, cerita, peristiwa, serta lingkungan alam mereka.

Setelah penaklukan-penaklukan yang berhasil dicapai umat Muslim, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa-bahasa lokal yang ada terlebih dahulu. Di Syam bahasa Arab bercampur dengan bahasa Romawi (Rum) dan Siryani, di Mesir bercampur dengan bahasa Qibthi, di Irak dan Persia bercampur dengan bahasa Ajam setempat, dan di Maroko (Magrib) bercampur dengan bahasa Barbar. Setelah negeri-negeri yang ditaklukkan itu masuk Islam maka dirasakan adanya kebutuhan untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa agar orang-orang yang tidak berbahasa Arab sebagai bahasa sehari-harinya atau negeri-negeri di luar Arab tidak salah dalam mengungkapkan bahasa.

Tokoh ulama atau ilmuwan pertama yang menggeluti bidang bahasa adalah Abu al-Aswad ad-Du'ali. Beliau adalah tokoh ulama ahli ilmu Nahwu dari Bashrah, Irak. Setelah itu muncul tokoh-tokoh lain yang juga menggeluti bidang bahasa dan tata bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah) ini. mereka adalah juga murid-murid Abu al-Aswad ad-Du'ali. Di antara mereka adalah Yahya ibn Ya‘mar, Anbasah ibn Ma‘dan, Maimun al-Aqran, dan Isa ibn Umar as-Saqafi. Yang terakhir ini adalah tokoh terkemuka ahli ilmu Nahwu dari Bashrah. Dari beliau muncul tokoh ahli bahasa yang lain yaitu al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (wafat 170 H) yang menyusun kitab al-Mukammil. Selain itu beliau juga menyusun berbagai kamus (mu'jam) bahasa Arab dan menyusun ilmu (kaidah-kaidah) cara penggubahan syair yang disebut dengan ilmu Arudh. Di antara karya-karyanya yang lain adalah Kitab al-Ain. Kitab al-Nagham, Kitab al-Arudh, Kitab as-Syawahid, Kitab al-Nuqath wa as-Syakl, Kitab Fa’it al-Ain, dan Kitab al-Iqa'. Termasuk murid Abu al-Aswad ad-Du'ali adalah Yunus ibn Habib (wafat 183 H) maula Bani Laits ibn Bakr. beliau adalah ulama yang paling memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam ilmu Nahwu.

f. Arudh dan Syair

Pemerintah Dinasti Bani Umayyah sangat memperhatikan bahasa Arab setelah mereka berasimilasi dengan bangsa-bangsa lain non-Arab, saperti kelompok Mawali di Persia, dan masyarakat Barbar di Maroko (Magrib) Afrika Utara. Bahkan pemerintah Dinasti Bani Umayyah di masa khalifah ke-5, Abdul Malik ibn Marwan menerapkan kebijakan Arabisasi, yang membuat semua unsur yang terlibat dalam pemerintahan seperti pejabat pemerintah pusat, gubernur, dan tentara harus terdiri atas bangsa Arab. Korespondensi dari pusat ke daerah atau sebaliknya harus menggunakan bahasa Arab. Tidak hanya itu, semua catatan keuangan negara di Baitul Mal baik di pusat maupun daerah harus menggunakan angka dan huruf Arab. Khalifah pun mengganti mata uang yang dikeluarkan pemerintah Bizantium dan Persia dengan mata uang yang dicetak sendiri yang ada tulisan Arabnya.

Sebegitu pentingnya bahasa Arab bagi Dinasti Bani Umayyah maka perlu diupayakan untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab untuk menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan khususnya di daerah-daerah yang bukan berpenduduk bangsa Arab atau yang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa aslinya. Di samping penyusunan kaidah-kaidah bahasa, disusun pula kamus-kamus (mu'jam) yang mengumpulkan kosakata-kosakata bahasa Arab dari daerah pedalaman (Baduy), karena bahasa Arab Baduy merupakan bahasa Arab yang masih asli dan murni serta belum bercampur dengan bahasa lain.

Tokoh yang berjasa dalam penyusunan kamus bahasa Arab di masa itu adalah al-Khalil ibn Ahmad al-Azdi (al-Farahidi). Selain menyusun kamus beliau juga meletakkan dasar-dasar qiyas penulisan syair-syair Arab berikut wazan, qafiyah, dan baharnya yang kesemuanya itu terkumpul dalam ilmu Arudh. Munculnya ilmu tersebut dikarenakan sejak abad ke-2 H tidak jarang timbul kesalahan dalam penggubahan Syair Arab. Banyak penyair yang menggubah bait-bait syair tidak menuruti aturan dan bentuk syair Arab yang lazim atau pola konvensional syair. Di pondok-pondok pesantren salafiyah (tradisional) di Indonesia pada umumnya, ilmu Arudh merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang diajarkan kepada para santrinya agar dapat membaca syair-syair Arab yang terdapat di dalam kitab-kitab berbahasa Arab, seperti Nahwu, Sharaf, dan Balaghah.

Sejak zaman Jahiliyah syair merupakan salah satu jenis seni bahasa yang sangat digemari bangsa Arab. Syair didendangkan dalam berbagai pertemuan, di pasar, dan tempat-tempat lainnya. Bangsa Arab secara naluri berkarakter sebagai penyair karena lingkungannya yang sangat kondusif. Arab Baduy misalnya, dapat hidup bebas dan tidak tunduk kepada penguasa atau peraturan-peraturan tertentu. Mereka lebih cenderung dikuasai perasaannya (dzauq) yang merupakan faktor potensial untuk mendorongnya dalam menggubah syair. Oleh karena itu bukan hal yang aneh jika syair dan penyair lahir dalam setiap generasi. Pada saat itu syair berkembang sesuai dengan imajinasi penyairnya. Para penyair pun banyak bermunculan di tiap-tiap kabilah Arab. Penyair, kepala suku (pemimpin), dan orator (ahli pidato/khatib) memiliki kedudukan yang sangat terhormat dalam kabilahnya. Bahkan, konon bangsa Arab tidak mengucapkan ucapan selamat kecuali karena tiga hal:
1)      Munculnya seorang penyair
2)      Lahirnya seekor anak kuda kesayangannya, dan
3)      Lahirnya seorang anak laki-laki.

Syair-syair Arab yang berkembang di masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah ini berbeda orientasinya dengan syair-syair yang telah berkembang terlebih dahulu di masa Jahiliyah. Maka muncullah di masa itu syair ghazal yang penuh dengan nuansa cinta dan erotisme yang dikembangkan oleh pujangga Umar ibn Abu Rabi‘ah di Hijaz. Muncul pula syair-syair politik sebagai akibat dari munculnya kelompok-kelompok (partai) politik di masa itu, seperti Syi'ah dan Khawarij. Syair-syair politik ini dikenal dengan sebutan as-Syi‘r al-Hizbi. Biasanya syair-syair politik ini digunakan sebagai sarana (alat) untuk mendukung gerakan politik tertentu. Maka tidak heran jika ada penyair (pujangga) yang mendapat cobaan-cobaan berat (tekanan dan siksaan) dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Seperti yang dialami oleh penyair Ubaidillah ibn Qais ar-Ruqiyat dari kelompok pendukung gerakan Abdullah ibn Zubair dan al-Kumait ibn Zaid al-Asadi dari kelompok pendukung Syi'ah.

Di samping itu banyak pula penyair yang memang menjadi pendukung pemerintah yang berkuasa saat itu. Mereka ini mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah sebagai balasan atas dukungan mereka terhadap kebijakan-kebijkan politiknya. Di antara mereka adalah penyair bernama al-Farazdaq yang menjadi pujangga di istana Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dan putra-putranya yang juga menjadi khalifah sesudahnya seperti al-Walid, Sulaiman, dan Yazid. Selain itu, penyair Jarir yang menjadi pujangga di kantor gubernuran Irak di masa Gubernur al-Hajjaj ibn Yusuf as-Tsaqafi dan penyair al-Akhthal yang menjadi pujangga Khalifah Muawiyah dan putra-putranya.

Di samping penyair yang mendukung pemerintah ada pula penyair yang sangat kental dengan sifat dan sikap yang membanggakan primordialisme kesukuannya (ashabiyyah) karena terjadinya pertentangan dan persaingan antara dua suku Arab besar yaitu Qaisiyah-Nizariyah dan Yamaniyah-Qahthaniyah. Seperti penyair al-Kumait ibn Zaid al-Asadi dari suku Qaisiyah-Nizariyah dan Da‘bal al-Khuza'i dari suku Yamaniyah-Qahthaniyah.

g. Teologi (Ilmu Kalam)

Di masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah muncul gerakan-gerakan dalam bidang pemikiran dan filsafat, seperti Jabariyah, Qadariyah, dan Mu‘tazilah. Aliran Jabariyah berpendapat bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak terhadap kehendak dan perbuatan manusia. Dengan demikian, manusia menurut aliran ini tidak memiliki kehendak dan perbuatan karena semuanya sudah ditentukan (ditakdirkan) oleh Allah, dalam kata lain manusia adalah majbur (terpaksa). Pelopor aliran gerakan Jabariyah ini adalah Jahm ibn Shafwan. Para pengikutnya dinamakan kelompok Jahmiyah. Aliran Qadariyah muncul sebagai reaksi atas Jabariyah. Aliran ini menolak pendapat aliran Jabariyah. Menurut aliran Qadariyah manusia itu memiliki kehendak dan perbuatannya sendiri yang tidak ditentukan oleh Allah. Aliran Qadariyah ini menentang (beroposisi) terhadap pemerintah Dinasti Bani Umayyah karena berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kebebasan untuk memilih.

Selain itu, ada pula aliran Mu'tazilah yang baru muncul pada permulaan abad kedua Hijriyah di Bashrah. Penamaan Mu'tazilah dinisbatkan kepada tokohnya, Wasil ibn Atha' yang memisahkan diri (I'tazala) dari halaqah (pengajian) ulama Bashrah terkenal yaitu Imam Hasan al-Bashri. Menurut aliran ini, orang mukmin yang berbuat dosa besar maka ia berada pada posisi antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilatain) antara mukmin dan kafir, Aliran ini juga berpendapat bahwa dengan akalnya manusia dapat menentukan mana yang baik dan buruk, manusia bebas berkehendak dan berbuat karena Allah tidak menciptakan perbuatan manusia itu, justru manusialah yang menciptakan kehendak dan perbuatannya sendiri. Seperti halnya aliran Qadariyah, aliran Mu'tazilah ini juga beroposisi terhadap pemerintah Dinasti Bani Umayyah. Oleh karenanya banyak tokoh-tokohnya yang mendapat tekanan dan cobaan dari pemerintah. Padahal para khalifah Dinasti Bani Umayyah ini banyak yang menjadi pengikut aliran Mu'tazilah ini. Di antara mereka adalah Khalifah Yazid II ibn al-Walid dan Marwan ibn Hakam yang dijuluki dengan al-Ja'di karena beliau mengikuti pendapat tokoh Mu'tazilah bernama Ja‘ad ibn Dirham.

h. Sejarah

Selain syair, kajian tentang ilmu sejarah juga berkembang sejalan dengan adanya kajian tentang sirah nabawiyah atau perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw, berita-berita peperangan yang dialami beliau beserta sahabat, dan berita-berita tentang hijrahnya para sahabat dan Nabi Muhammad Saw. baik yang ke Habasyah (Ethiopia) maupun ke Yatsrib (Madinah al-Munawwarah). Oleh karena itulah maka kota Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah dianggap sebagi pusat gerakan kajian ilmu sejarah. Para sejarawan Muslim pada masa awal banyak mengandalkan sumber-sumber lisan dalam penulisan sejarahnya. Metode yang digunakan dalam pengumpulan sumber-sumber itu hampir sama dengan metode penelitian ilmu Hadis, yaitu metode Isnad.

Kitab-kitab sejarah yang berhasil disusun pertama kali adalah al-Maghazi dan as-Sirah. Melalui kedua kitab tersebut umat Islam terdorong untuk mengikuti perilaku Nabi Muhammad Saw. dan berpegang pada syariat Islam. Kota Madinah al-Munawwarah menjadi pusat gerakan kajian ilmu sejarah karena menjadi tempat tinggal Rasulullah dan para sahabatnya. Sehingga para tabi‘in banyak yang belajar dan menimba ilmu serta menggali infomasi dari para sahabat di Madinah.

Para sejarawan penulis al-Maghazi dan as-Sirah mazhab Madinah dan Mekah terbagi dalam tiga tingkatan (thabaqat).
1)      Tingkatan pertama adalah Aban ibn Usman ibn Affan (wafat 105 H), beliau adalah putra khalifah ketiga yaitu Usman ibn Affan. Urwah ibn Zubair (92 H) beliau banyak meriwayatkan hadis-hadis yang diperolehnya dari ayahnya, Zubair ibn Awwam, dari ibunya, Asma binti Abu Bakar as-Siddiq, dari bibinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq yang juga adalah ummul-mukminin istri Rasulullah. Dari Urwah ibn Zubair muncul muridnya Ibn Syihab az-Zuhri (wafat 124 H) dan putranya, Hisyam ibn Urwah.
2)      Tingkatan kedua adalah Abdullah ibn Abu Bakar ibn Hazm al-Anshari (wafat 135 H) dan Ashim ibn Amr ibn Qatadah al-Anshari (wafat 120 H). Ashim secara khusus diminta oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz untuk mengajar di Masjid Umayyah di Damaskus tentang peperangan-peperangan yang dialami Rasulullah dan biografi para sahabat-sahabatnya. Dari Ashim ini muncul sejarawan-sejarawan terkenal seperti Ibn Ishaq, al-Waqidi, dan terakhir Ibn Syihab az-Zuhri. Ibn Syihab az-Zuhri dianggap sebagai sejarawan penulis al-Maghazi dan as-Sirah terbesar dalam mazhab Madinah dan Mekah.
3)      Tingkatan ketiga adalah Muhammad ibn Ishaq (wafat 150 H) yang merupakan murid kesayangan dan termasyhur dari Ibn Syihab az-Zuhri, beliau berasal dari Persia. Pada masa ini ilmu sejarah sudah berdiri kokoh. Karyanya yang sangat terkenal adalah as-Sirah an-Nabawiyah, yang lebih dikenal dengan Sirah ibn Ishaq. Karyanya ini tidak sampai ke kita sekarang, tetapi sebagian besar di antaranya dikutip oleh sejarawan sesudahnya, terutama oleh ibn Hisyam di dalam karyanya as-Sirah an-Nabawiyah atau Sirah ibn Hisyam. Tokoh lainnya adalah Muhammad ibn Umar al-Waqidi (wafat 207 H) maula Bani Hasyim. Al-Waqidi dikenal lebih unggul daripada Ibn Hisyam dari segi ketelitiannya dalam penulisan materi sejarah, gaya bahasa, dan ketepatan dalam penentuan letak-letak geografis.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pada masa Dinasti Bani Umayyah perkembangan ilmu pengetahuan lebih terlihat pada ilmu di bidang agama, terutama hadis, tafsir, fiqh, tasawuf, dan teologi. Hal ini merupakan konskuensi logis dari diakuinya Al-Qur'an dan al-Hadis sebagai dasar utama bagi umat Islam dan sekaligus sebagai pegangan dalam kehidupan di dunia. Dampak perkembangan ilmu pengetahuan agama pada perkembangan umat Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
1)      Dalam kehidupan sosial keagamaan, umat Islam mempunyai landasan kuat karena di samping Al-Qur'an dan al-Hadis, telah lahir beberapa disiplin ilmu lain seperti tafsir, fiqh, tasawuf, teologi, yang dapat dipakai sebagai acuan dalam kehidupan mereka dalam rangka mengembangkan umat Islam.
2)      Dalam kehidupan keagamaan, umat Islam mempunyai beberapa alternatif pilihan karena lahirnya beberapa ahli di bidang fiqh, teologi, dan seterusnya, hal ini sangat berimplikasi pada kemudahan menjalankan ajaram ajaran Islam. Walau demikian, beberapa perbedaan pandangan dalam beberapa disiplin ilmu tersebut acapkali membuat umat Islam terjerumus pada sikap saling menjelekkan bahkan berujung pada kekerasan.
3)      Umat Islam dapat berpartisipasi secara aktif dalam berbagai bidang keilmuan. Hal ini terbukti dengan maraknya kajian-kajian baik yang menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan, atau di tempat-tempat netral lain nya.
4)      Khazanah yang dihasilkan oleh para ulama tabi‘in merupakan warisan intelektual Islam yang sangat berpengaruh pada generasi kemudian.

i. Kedokteran dan Kimia

Pengobatan ilmiah Arab sumber utamanya dari Yunani, dan sebagian lagi dari Persia. Pengobatan Persia sendiri dipengaruhi oleh tradisi Yunani. Daftar urutan teratas dokter-dokter Arab pada abad pertama Islam ditempati oleh al-Haris ibn Kaladah (w. 634) dari Taif yang menuntut ilmu di Persia. Al-Haris adalah orang pertama yang dididik secara ilmiah di Semenanjung Arab dan memperoleh gelar kehormatan sebagai “dokter orang Arab”. Karir al Haris sebagai ahli pengobatan diteruskan oleh anaknya bernama an-Nazdr, yang masih ada hubungan famili dengan Nabi Saw.

Pada masa penaklukan Arab di Asia Barat, ilmu pengetahuan Yunani mengalami kemunduran. Namun, banyak dokter dari Yunani dan dokter yang belajar dari Yunani bekerja sebagai dokter di lingkungan para elit Dinasti Bani Umayyah. Dokter yang paling menonjol pada awal Dinasti Bani Umayyah adalah Ibn Utsal, dokter pribadi Muawiyah, yang beragama Kristen, dan Tayazhuq, dokter al-Hajjaj dari Yunani. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawayh, yang tinggal di Basrah pada masa-masa awal pemerintahan Marwan ibn Hakam, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab sebuah naskah Suriah tentang pengobatan yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang pendeta Kristen di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah pertama dalam bahasa Arab. Khalifah al-Walid merupakan tokoh yang membuat kebijakan memberi perawatan khusus di tempat terpisah untuk penderita Penyakit lepra. Khalifah Umar II diriwayatkan telah memindahkan sekolah kedokteran dari Iskandariyah, tempat tumbuh suburnya tradisi Yunani, ke Antiokia dan Harran.

Ilmu Kimia, sama dengan ilmu kedokteran adalah salah satu disiplin ilmu yang juga ikut dikembangkan oleh penguasa Dinasti Bani Umayyah. Khalid (w. 704) putra Khalifah Umayyah II, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan bahasa Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Arab menggali tradisi ilmiah dari sumber-sumber Yunani, dan peran penguasa sebagai fasilitator penggerak pengembangan ilmu pengetahuan cukup besar. (Philip K. Hitti, 2005: 319-320).

2. Kebudayaan Fisik

a. Arsitektur Bangunan

Seni bangunan zaman Dinasti Bani Umayyah dapat dilihat pada kota-kota dan masjid-masjid. Arsitekturnya merupakan perpaduan gaya Parsi Romawi dan Islam. Damaskus sebelum Islam merupakan ibu kota kerajaan Romawi Timur di Syam, dan oleh Muawiyah dibangun kembali sebagai ibu kota pemerintahannya. Di Damaskus, Muawiyah membangun kembali gedung-gedung indah, dilengkapi dengan jalan-jalan dan taman rekreasi. Dia juga membangun istana hijau di Miyata pada tahun 704, istana itu direhab kembali oleh al-Walid ibn Abdul Malik.

Pada masa al-Walid, dibangun masjid Damaskus dengan arsitek Abu Ubaidah ibn Jarrah. Bangunan itu diselesaikan dengan mendatangkan 12.000 tukang bangunan dari Romawi. Masjid ini dibangun dengan ukuran 300 x 200 meter persegi, memiliki 68 pilar, dilengkapi dinding-dinding berukir yang indah. Kubah masjid agung Damaskus berbentuk tapak besi kuda bulat, pertemuan dari garis-garis ke titiknya dibayangkan oleh kaki tiang di atasnya. Di atas jalan beratap lengkung besar, di sekelilingnya terdapat sahn (puncak-puncak barisan ambang pintu yang berbentuk setengah bundar). Di sekeliling masjid terdapat empat buah mercu yang merupakan bangunan peninggalan Yahudi, oleh orang Islam hanya diambil satu mercu saja dijadikan menara tempat azan. Menara tersebut terletak di sebelah tenggara masjid. Ruangan dalam masjid Damaskus dihiasi ukiran-ukiran indah, marmer-marmer halus (mosaics) dan pintu-pintu dipasang memakai kaca-kaca berwarna-warni. (Philip K. Hitti, 2005 :334).

Salah satu kota yang dibangun pada zaman Dinasti bani Umayyah di Damaskus adalah kota Kaimwan, yang didirikan oleh Uqbah bin Nafi ketika menjadi gubernur di Wilayah ini. Kairouwan dibangun dengan memodifikasi gaya Islam, Parsi dan Romawi, dilengkapi dengan mendirikan gedung-gedung, masjid, taman rekreasi, pangkalan militer dan kelengkapan lainnya. Kota ini kemudian menjadi kota metropolitan dan internasional, di dalamnya hidup secara berdampingan bangsa-hangsa Arab, Barbar, Persia, Romawi, Qibti, Yahudi dan lain-lain.

Uqbah juga membangun masjid agung kairouwan, dan pada tahun 670 oleh Gubernur Hisyam bin Abdul Malik direhab sehingga sampai saat ini menjadi masjid kebanggaan kaum muslimin di Afrika Utara, terutama kubahnya yang terkenal “Qubbah Bhawi.”

Masjid Agung Umayyah
Masjid Kairouwan




[1] Parsudi Suparlan, 1986, hal: 1-17, J .J . Honigmann, 1959: 11-12, Koentjaraningrat, 1984, 186-187

Materi Berikutnya >> NEXT

Menu Utama Klik >> DAFTAR ISI


Tidak ada komentar