Header Ads

Buku SKI

Keutamaan Umar bin Abdul Aziz


Umar bin Abdul Aziz lahir di Mesir pada tahun 61 H. Marwan, ayahnya pernah menjadi Gubernur Mesir. Ibunya bernama Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar. Umar telah menghafal Al-Qur'an semenjak kecil. Ia dikirim oleh ayahnya ke Madinah untuk menimba ilmu, antara lain dari Ubaidillah bin Abdullah. Karena itu, beliau juga dikenal sebagai perawi hadis. Ketika ayahnya wafat, Abdul Malik memintanya agar datang ke Damaskus, kemudian dinikahkan dengan putrinya bernama Fatimah. Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz pernah menjabat sebagai Gubernur Hijaz pada masa Al-Walid 1 (86-96/705-715), dan wazir masa Sulaiman (96-99/715-717). Sulaiman menunjuknya sebagai penggantinya karena Umar dianggap paling salih di antara kerabatnya yang lain, dan beliau juga berpengalaman menjadi gubernur dan wazir (menteri).

Umar bin Muhajir mengatakan bahwa tatkala Umar dibaiat sebagai khalifah, ia berdiri di hadapan umat Islam seraya memuji kepada Allah dan mengatakan, “Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya tidak ada satu kitab suci pun setelah Al-Qur'an, dan tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Ketahuilah bahwa saya bukan pembuat undang-undang, saya hanyalah pelaksana. Saya bukan pembuat ajaran baru (bid'ah), saya hanya pengikut. Saya bukan yang terbaik di antara kalian, saya justru memikul beban berat. Orang yang melarikan diri dari pemimpin zalim bukanlah seorang yang zalim. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk jika berbuat kemaksiatan (As-Suyuthi, 2013: 295).

Setelah diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan Bani Marwan dan berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. mempunyai tanah Fadak, dari tanah itu beliau memberi nafkah kepada Bani Hasyim dan menikahkan gadis-gadis mereka. Suatu hari, Fatimah anak beliau, meminta sebagian hasil tanah itu, tetapi Rasulullah Saw. menolak. Hal yang demikian juga dilakukan Abu Bakar dan Umar. Harta itu lantas diambil oleh Marwan, dan sekarang menjadi milik Umar bin Abdul Aziz. Saya memandang bahwa apa yang dilarang oleh Rasulullah Saw. untuk Fatimah adalah bukan milik saya. Maka saya bersaksi di hadapan kalian bahwa saya telah mengembalikannya sebagaimana keadaannya pada masa Rasulullah Saw. (As-Suyuthi, 2013: 296).

Demikianlah karakter Umar bin Abdul Aziz, beliau ingin menjadikan Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan Umar sebagai teladan. Beliau dikenal Sangat sederhana, dekat dan memperhatikan nasib rakyatnya. Setelah diangkat sebagai khalifah, datanglah iring-iringan kereta kuda beserta rombongan yang meramaikan penobatan khalifah, maka Umar bertanya kepada si penjemput, 'Iringan kereta kuda itu untuk apa?,' si penjemput menjawab bahwa kereta kuda tersebut akan menjemput khalifah, beliau langsung menyuruh pulang kembali karena tidak memerlukannya, dan minta keledainya sebagai kendaraan, berjalan bersama orang banyak sambil berkata bahwa saya adalah orang sama seperti kalian. (Yoesuf Soaib: 174).

Dalam peristiwa lain, Umar pernah meminta istrinya (Fatimah) untuk memilih apakah tetap hidup bersamanya dalam keadaan serba kekurangan atau kembali ke keluarganya yang bergelimang dengan harta. Fatimah langsung menangis, demikian juga pelayannya. Fatimah memilih tetap bersama Umar bin Abdul Aziz dalam kondisi apa pun. Suatu hari Umar meminta istrinya agar memberinya uang satu dirham untuk dibelikan setangkai anggur, namun istrinya tidak mempunyai uang dan berkata, “Engkau adalah Amirul Mukminin, mengapa di sakumu sampai tidak ada uang untuk membeli setangkai anggur?” Umar menjawab, “Ini cara termudah untuk bisa selamat dari siksa dan belenggu di neraka Jahanam kelak.” (Qasim A. Ibrahim, 2014: 276-277).

Salah satu keutamaan Umar bin Abdul Aziz adalah dalam hal kodifikasi al-Hadis. Sebagaimana diketahui bahwa hadis belum tertulis secara resmi pada zaman Rasulullah Saw., seperti halnya Al-Qur'an, hanya dihafal oleh para huffadz (penghafal), yang setelah wafat Nabi Saw. kemudian diteruskan oleh para sahabat, kepada para tabi'in yang datang sesudah mereka, baik secara lisan dan pendektean. Usaha kodinkasi hadis sudah ada pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Al-Bayhaqi dalam kitab al-Madkhal menceritakan, berasal dari Urwah bin Zubair, bahwa Umar bin Khattab ingin membukukan Sunnah, kemudian beliau bermusyawarah dengan para sahabat, dan mereka setuju membukukan Sunnah. Umar melakukan istikharah selama sebulan, sampai pada suatu ketika beliau mengurungkan niat melakukan kodifikasi Sunnah karena khawatir akan bercampur-aduk antara Al-Qur'an dengan Hadis.

Umar beralasan bahwa kondisi sosiologis masyarakat Muslim pada waktu itu, bahwa Al-Qur'an merupakan sesuatu yang masih baru, dan manusia masuk agama Islam secara berbondong-bondong, sehingga perlu bagi mereka mengenal kitab Tuhan itu dengan cara menghafal, mengkaji dan mencegah mereka dari kemungkinan kekacauan dan perubahan. Kondisi itu terus berlanjut sampai terjadinya fitnah (peristiwa terbunuhnya Usman), dan mulailah dusta dalam hadis meluas. Kemudian para tokoh besar golongan tabi'in bangkit, diikuti oleh generasi berikutnya, guna melawan gerakan pemalsuan hadis. Salah satu hasil dari upaya mereka adalah dibukukannya Sunnah karena khawatir hilang, dan mencegah dari kemungkinan penambahan dan pengurangan.

Sedangkan orang pertama yang memikirkan pengumpulan dan pencatatan Sunnah dari kalangan tabi‘in adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Bani Umayyah. Ia mengirim Abu Bakar ibn Hazm, salah seorang menteri dan hakimnya ke Madinah dan berpesan, “Perhatikanlah apa dari hadis Rasulullah Saw. kemudian catatlah, karena aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan perginya para ahli ilmu pengetahuan.” Dia pun hendak menulis untuk Umar hadis yang ada pada Umrah bin Abdurrahman al-Anshariyyah (w. 98 H) dan yang ada pada al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr (w. 120 H). Umar tidak hanya menugaskan kepada Ibn Hazm saja untuk kodifikasi hadis, tetapi juga memerintahkan semua gubernur dan ulama di seluruh negeri untuk melakukan hal serupa. Abu Na'im menceritakan dalam bukunya Tarikh Isfahan, bahwa Umar ibn Abdul Aziz menulis kepada penduduk daerah itu, “Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. dan kumpulkan.”

Dengan begitu, Umar telah melakukan apa yang dulu pernah dilakukan oleh Umar ibn Khattab untuk mengkodifikasi hadis, tetapi diurungkan karena khawatir akan bercampur-aduk dengan Al-Qur'an. Yang jelas Ibn Hazm telah mencatat untuk Umar sejumlah hadis, dan telah mengirim kepadanya apa yang ada pada Umrah dan Qasim. Tetapi ia belum sempat menulis dan mencatat semua Sunnah dan cerita masa lalu yang ada di Madinah, tetapi yang melakukannya adalah Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az-Zuhri (W. 124 H).

Kitab Al-Muwatta' Karya Imam Malik
Az-Zuhri adalah seorang ulama kenamaan pada zamannya di bidang Sunnah, dan Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan para pembantunya untuk pergi menemuinya karena tidak tersisa di muka bumi seorang ahli seperti dia. Az-Zuhri juga disebut memiliki 90 hadis yang tidak dituturkan seorang pun selain dia, dan yang disebut oleh banyak kalangan tokoh ulama pada zamannya bahwa kalau seandainya tidak karena az-Zuhri maka pasti banyak Sekali Sunnah yang hilang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa az-Zuhri adalah orang pertama yang meletakkan batu fondasi dalam pembukuan Sunnah berbentuk buku khusus, setelah lewat masanya ketika sejumlah ulama tab'in membenci kodifikasi hadis karena dikhawatirkan melemahkan hafalan. Bahkan az-Zuhri sendiri mula-mula pernah membenci penulisan hadis dan enggan melakukannya, sampai akhirnya didorong untuk itu oleh Umar ibn Abdul Aziz (Dr. Musthafa as-Siba’i, pentj. Nurcholish Madjid, 1991: 74-75).

Usaha pencatatan hadis meluas setelah generasi az-Zuhri. Tercatat yang pertama kali mengumpulkan hadis di Mekah adalah Ibn Jurayh (w. 150 H), dan Ibnu Ishaq (w. 151 H), di Madinah adalah Said ibn Abi Urubah (w. 156 H), ar-Rabi ibn Shahih (w. 160 H), dan Imam Malik (w. 179 H), di Basrah ialah Hammad bin Salamah (w. 176 H), di Kufah adalah Sufyan as-Sauri (w. 161 H), di Syria ialah Abu Annal-Auza‘i (w. 156 H), di Wasith ialah Hasyim (w. 188 H), di Khurasan adalah Abdul Malik ibn al-Mubarak (w.181 H), di Yaman ialah Muammar (w. 153), di Ray ialah Jarir ibn Abdul Hamid (w. 188). Semua penulis hadis itu hidup dalam satu zaman, dan tidak diketahui secara pasti siapa yang terlebih dahulu melakukan usaha tersebut. (Dr. Musthafa as-Siba'i, 1991: 76).

Materi Berikutnya >> NEXT
Menu Utama Klik >> DAFTAR ISI

Tidak ada komentar