Fase-Fase Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah Di Andalusia
Sejarah perkembangan Islam di Andalusia berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu sekitar tujuh setengah abad, mulai dari Dinasti Bani Umayyah I, Dinasti Bani Umayyah II, dan era Raja-raja Kecil (Muluku at-Thawaif). Berikut ini adalah periodeisasi kekuasaan Islam di Andalusia dan fase-fase pemerintahan Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia.
1. Periode Dinasti Bani Umayyah I di Damaskus (711-755 M)
Pada masa ini Andalusia berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah I yang berpusat di Damaskus di bawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan (705-715 M). Damaskus mengangkat wali di Andalusia. Salah satu penakluk wilayah ini, Musa bin Nushair kemudian digantikan anaknya bernama Abdul Aziz merupakan wali pertama yang bertugas mengelola pemerintahan di Andalusia.
2. Periode Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia (138-422 H/756-1031 M)
Dinasti yang didirikan oleh ad-Dakhil ini berlangsung selama dua tiga per empat abad (138-422 H/756-1031 M). Sedangkan para amir dan khalifah yang pernah memimpin dari Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia adalah:
1. Abdurrahman ad-Dakhil (138-172 H/756-788 M)
2. Hisyam I (172-180 H/788-796 M)
3. Al-Hakam I (180-206 H/796-822 M)
4. Abdurrahman II (206-238 H/822-852 M)
5. Muhammad I (238-273 H/852-886 M)
6. Al-Munzir (273-375 H/886-888 M)
7. Abdullah (275-300 H/888-912 M)
8. Abdurrahman III (300-317 H/912-929=Muhammad, menjadi khalifah 317-350 H/929-961 M)
9. Al-Hakam II (350-366 H/961-976 M)
10. Hisyam II (366-399, 400-403 H/976-1009, 1010-1013 M)
11. Muhammad II (399-400 H/1009-1010 M)
12. Sulaiman (399-400, 403-407 H/1009-1010, 1013-1016 M)
13. Abdurrahman IV (409 H/1018 M)
14. Abdurrahman V (414 H/1023 M)
15. Muhammad 111 (414-416 H/1023-1025 M)
16. Hisyam III (418-422 H/1027-1031 M)
Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia memang berakhir pada tahun 1031, namun untuk selanjutnya Andalusia masih tetap di bawah kekuasaan umat Islam yang dipimpin oleh beberapa pemimpin dari beberapa daulah. Berikut ini adalah fase-fase sejarah umat Islam di Andalusia dibawah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah II.
a. Fase Perintisan (756-912)
1) Abdurrahman ad-Dakhil
Abdurrahman ad-Dakhil pada masa awal pemerintahannya berhasil meredam pemberontakan dari internal Andalusia sendiri, dan menahan Serangan-serangan yang dilakukan Dinasti Bani Abbasiyah dari Timur. Ia melakukan taktik segera mengeksekusi para pemimpin mereka yang coba menggulingkannya dan dengan cepat pula ia maafkan setiap orang pengikut mereka yang setelah itu menerima dia sebagai Amir. Pada tahun 763, Abdurrahman berhasil memukul mundur sebuah serangan Dinasti Bani Abbasiyah dan mengeksekusi pemimpinnya.
Pada tahun 777, Dinasti Bani Abbasiyah mengirim utusan ke Raja Charlemagne di bagian selatan Perancis. Kedua pihak mengatur strategi agar ada pemberontakan dari dalam Andalusia dengan dibantu Abbasiyah, dan secara bersamaan ada serangan dari utara yang dipimpin Charlemagne. Serangan ganda ini tidak terorganisir secara baik, dan Abdurrahman berhasil menumpas pemberontakan Abbasiyah sebelum Charlemagne memasuki Andalusia. Ketika ia memasuki Andalusia tahun 778, segera Abdurrahman memukul mundur pasukan Charlemagne dan menderita kekalahan hebat dalam penyergapan di Roncesvalles.
Perselisihan dan pertikaian yang terjadi antara suku yang berbeda-beda, serta antara bangsa dan etnis yang berbeda-beda di Andalusia jauh berkurang selama dipimpin oleh Abdurrahman. Perselisihan dan pertikaian seperti itu segera dapat didamaikan dengan segera. Dengan menyelesaikan semua pemberontakan dan perselisihan secara langsung, Abdurrahman mempunyai kedudukan istimewa di kalangan masyarakat Andalusia. Mereka tidak memilih Pemimpin selain Abdurrahman. Ibnu Hayyan menggambarkan Abdurrahman sebagai berikut:
Ia fasih dalam berpidato, dan diberkahi daya pemahaman yang cepat; ia amat lambat dalam membuat ketetapan, tetapi senantiasa konstan dan tekun dalam membuat keputusan-keputusannya itu berlaku; ia merupakan pengecualian dari semua kelemahan, serta tepat dalam gerak-geriknya; ia aktif dan Semangat dalam mengembara; ia tidak pernah berbaring malas-malasan atau Membiarkan dirinya terseret kegemaran; ia tidak pernah mempercayakan urusan-urusan pemerintahan kepada siapa pun melainkan menangani sendiri, tetapi ia tak pernah abai berkonsultasi mengenai kasus-kasus yang sukar dengan orang yang arif dan bijaksana serta berpengalaman; ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan tidak takut bahaya, senantiasa di barisan depan di medan tempur; ia sangat tidak menyenangkan dalam kemarahannya, serta tidak dapat menerima adanya penentangan terhadap keputusannya; ia dapat berbicara secara fasih dan elegan; ia pun seorang penyair yang baik; ia adalah seorang pangeran yang dermawan, murah hati, dan banyak memberikan hadiah; ia menyukai pakaian putih, dan memakai surban berwarna sama, warna yang lebih ia sukai dibanding dengan warna-warna lainnya; roman wajahnya menginspirasikan kekaguman bagi siapa saja yang mendatanginya, baik kawan maupun lawan. Ia senantiasa menghadiri pemakaman dan mendoakan orang yang mati; ia melaksanakan salat bersama-sama masyarakat saat datang ke masjid pada hari Jum'at dan hari-hari perayaan lainnya, pada saat-saat itulah ia naik ke atas mimbar dan menyapa rakyatnya. Ia menjenguk orang-orang yang sakit dan berbaur dengan rakyat, menghadiri kegembiraan dan hiburan-hiburan mereka.
2) Hisyam I
Abdurrahman ad-Dakhil wafat pada tahun 172/788 M. Hisyam I (172-180 H/788-796 M) naik tahta menggantikan ayahnya, Abdurrahman I. Sebagian sejarawan menilainya mirip dengan Umar bin Abdul Aziz dalam hal ketegasan sikap. Ia sangat besar perhatiannya terhadap kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Ia terkenal sebagai khalifah yang dekat dengan para ulama. Mereka mendapatkan kesempatan besar untuk mengembangkan dan menularkan kemampuan mereka kepada rakyat serta mendapatkan kedudukan yang cukup diperhitungkan dalam pemerintahan. Di antara ulama yang hidup dalam masa pemerintahannya adalah Yahya bin Yahya al-Laitsi, salah seorang murid kesayangan Imam Malik. Dalam menjaga reputasi pemerintahannya, Hisyam terkenal sebagai khalifah yang tidak segan-segan memecat pejabat yang dinilai lalai dan korup. Ia mendirikan semacam dinas intelejen yang bertugas mengawasi para pejabat. Ia juga dikenal sangat populis, adil dan sebagai pencetus pengajaran bahasa Arab di sekolah-sekolah Spanyol, termasuk sekolah Yahudi. Setelah memerintah selama tujuh tahun sembilan bulan, ia wafat dengan meninggalkan kejayaan kekhalifahannya, tepatnya pada tahun180 H/796 M.
3) Al-Hakam
Hisyam digantikan anaknya, al-Hakam I (180-206 H/796-822 M). Semenjak pemerintahan al-Hakam, Spanyol mulai merasakan kemunduran yang signifikan. Ia merupakan khalifah yang pertama kali menerapkan sistem sekularisme dalam pemerintahannya. Peran ulama pada masa itu dibatasi hanya dalam ranah religius, dan tidak diperbolehkan mempunyai andil dalam jalannya pemerintahan. Sikap ini menyulut pemberontakan para ulama di bawah pimpinan Yahya bin Yahya al-Laitsi di Cordoba. Namun pemberontakan itu berhasil dipadamkan.
Di Tolitolia dan Valencia, pemberontakan juga terjadi di bawah pimpinan dua paman al-Hakam. Tetapi, pemberontakan ini tidak mampu menggeser al-Hakam dari kursi kekhalifahannya. Karena seringnya terjadi perang saudara antar umat Islam, raja-raja Kristen di Utara berupaya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyerbu daerah perbatasan Spanyol, namun tentara al-Hakam berhasil mengusir kaum Kristen dari wilayah tersebut. Sementara itu, dendam kesumat antara Dinasti Bani Abbasiyah di timur dan Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol terus berlangsung. Situasi ini memberi keuntungan kepada kekaisaran Perancis. Pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid, raja Perancis meneken kerja sama bilateral yang berisikan nota kesepahaman antar dua negara, Dinasti Bani Abbasiyah dan Perancis. Isi kerja sama tersebut adalah pemberian izin kepada Dinasti Bani Abbasiyah untuk menempatkan orang-orangnya di Perancis untuk menahan infasi Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol ke daerah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah. Sebagai gantinya, Dinasti Bani Abbasiyah harus mengizinkan tentara Perancis melewati daerah kekuasaan Abbasiyah untuk menyerbu kekaisaran Bizantium. Setelah memegang tampuk pemerintahan selama 27 tahun, al-Hakam I wafat dan digantikan putranya, Abdurrahman al-Ausath (206-238 H /822-852 M).
4) Abdurrahman al-Ausath
Dia mendapat julukan al-Ausath karena posisinya sebagai penengah antara Abdurrahman ad-Dakhil dan Abdurrahman an-Nashir. Pada masa pemerintahannya, Spanyol mengalami banyak kemajuan dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, kultural dan sosial. Kemajuan dalam bidang-bidang tersebut hampir menyaingi kemajuan yang telah dicapai Dinasti Bani Abbasiyah dalam periode yang sama. Dia banyak mendatangkan kitab-kitab Yunani yang telah diterjemahkan para Khalifah Abbasiyah ke Cordoba.
Khalifah-khalifah Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia, termasuk Abdurrahman al-Ausath sangat toleran terhadap multikulturalisme dan perbedaan agama. Mereka sering mengadakan kerja sama dengan para raja-raja Kristen di perbatasan untuk saling menjaga perdamaian dan wilayah teritorial kedua belah pihak dari serangan musuh. Namun di sisi lain, banyak pihak yang berusaha menodai toleransi ini. Para pastor Kristen misalnya, mereka secara terang-terangan berani mencela Nabi Muhammad. Tentu ini adalah sebuah penghinaan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pada akhirnya, Abdurrahman al-Ausath memerintahkan pasukannya untuk melenyapkan mereka, sehingga para pemuka Kristen bersepakat meredakan ketegangan antar kedua belah pihak dengan mengharamkan penghinaan terhadap Nabi Muhammad di muka umum.
Kerja sama antara Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia dan wilayah-wilayah Kristen di perbatasan juga diwarnai dengan pengkhianatan kaum Kristen. Gubernur Lyon, Alfonso, beserta beberapa Gubernur Kristen di Wilayah Utara Spanyol berusaha mengeruhkan suasana. Mereka menyerang daerah perbatasan sebelah Utara. Serangan ini dapat segera dipadamkan dengan serangan balik ke wilayah Kristen di sana. Kekuatan pasukan Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia pada masa pemerintahan Abdurrahmanan al-Ausath sangat disegani bahkan oleh kekaisaran Konstantinopel. Kekaisaran Konstantinopel mengirimkan sejumlah utusan kepada Abdurrahman untuk mengadakan sebuah perjanjian damai. Perjanjian damai antara Konstantinopel dan Spanyol merupakan tandingan atas kerja sama serupa yang dilakukan oleh Dinasti Bani Abbasiyah dan Perancis. Siasat politik ini terbukti sangat jitu dengan ketidakmampuan para khalifah Dinasti Bani Abbasiyah menguasai wilayah Spanyol. Meski Dinasti Bani Abbasiyah secara teritorial dan politis tidak dapat menguasai wilayah Spanyol, namun mereka mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam bidang kultural dan ekonomi. Penyelenggaraan sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia banyak berkiblat pada sistem pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, seperti dalam pembangunan baitul mal dan pabrik garmen yang banyak meniru corak dan warna garmen produksi Dinasti Bani Abbasiyah. Hal ini karena Abdurrahman al-Ausath mengirimkan sejumlah pengamat-meski kedua klan: Bani Umayyah II dan Bani Hasyim saling bermusuhan sejak zaman Jahiliyah-untuk meneliti sistem pemerintahan dan mengamati kemajuan sosio-politik Dinasti Bani Abbasiyah.
5) Muhammad I (238-273 H/852-886 M)
6) Al-Mundzir (273-275 H/886-888 M), dan
7) Abdullah (275-300 H/888-912 M)
Abdurrahman al-Ausath digantikan secara berturut-turut oleh tiga orang, yaitu Muhammad I (238-273 H/852-886 M), Al-Mundzir (273-275 H/886-888 M), dan Abdullah (275-300 H/888-912 M). Selama pemerintahan ketiga orang tersebut selama tujuh puluh dua (72) tahun hampir tidak ada peristiwa dan prestasi mencolok yang mereka capai. Hanya ada beberapa kejadian yang tertulis dalam sejarah, misalnya penumpasan terhadap pemberontakan di Barcelona dan Tholitolia.
Setelah memegang tampuk pemerintahan selama 35 tahun, Muhammad I wafat dan digantikan oleh putranya, Mundzir, yang hanya memerintah selama hampir dua tahun. Ia kemudian digantikan oleh Abdullah.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abdullah (275-300 H/888-912 M), wilayah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah menciut karena banyak terjadi pemberontakan kaum Kristen di sekitar Wilayah Cordoba dan Utara Spanyol. Pada masa ini, banyak wilayah Spanyol yang memisahkan diri karena ketidakcakapan Abdullah dalam melaksanakan roda pemerintahannya. Selama 24 tahun masa pemerintahannya, kekuasaan dan wilayah Dinasti Bani Umayyah hanya tersisa pada daerah Granada yang menjadi benteng terakhir dinasti tersebut. Banyak wilayah yang memisahkan diri, semisal Algarave, Elvira, dan Murcia. Wilayah-wilayah tersebut banyak didiami oleh bangsa minoritas yang mampu menciptakan sebuah tirani minoritas, mereka mengendalikan hampir semua bidang kehidupan bahkan dapat mengalahkan penduduk pribumi.
b. Fase Keemasan (912-976)
1) Abdurrahman III
Setelah wilayah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol semakin menciut, datanglah seorang penyelamat yang dapat meneruskan kelangsungan hidup dinasti tersebut, yaitu Abdurrahman III (300-350 H/912-961 M). Ia memegang pemerintahan pada usia 21 tahun. Dengan berbekal kemampuan dan kewibawaannya ia berhasil memadamkan pemberontakan dan mengembalikan daerah-daerah yang memisahkan diri. Namun, ia mengalami sedikit kesulitan dalam memadamkan pemberontakan Umar bin Hafshun. Pada akhirnya, pasukan yang dikirim Abdurrahman berhasil menumpas Umar dan seluruh pengikutnya di persembunyiannya di pegunungan Bobastro. Pemberontakan yang terakhir dihadapi Abdurrahman III adalah pemberontakan yang terjadi di Tholitolia. Ia baru dapat menaklukkan benteng kota tersebut pada tahun 320 H/932 M. Dalam masa kurang dari 20 tahun, beliau berhasil mengembalikan semua daerah yang memisahkan diri ke pangkuan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol.
Sementara itu, pasukan Kristen di Utara Spanyol terus mengganggu wilayah Islam. Maka Abdurrahman III terjun langsung memimpin sejumlah pasukan yang berusaha mengamankan daerah Islam. Ia berhasil menaklukkan daerah Kristen Osma, St. Estevano dan semua daerah kekuasaan Kristen di Utara. Di samping berhasil menaklukkan daerah Kristen di Utara Spanyol, Abdurrahman III juga berhasil mengamankan daerah perbatasan dengan Perancis. Kebijakan luar negeri ini juga diikuti dengan kelihaiannya dalam melaksanakan pembangunan negara dalam berbagai bidang. Pembangunan material difokuskan pada pembangunan dermaga dan pelabuhan perdagangan. Keberhasilannya melaksanakan pembangunan dan perluasan wilayah tidak terlepas dari kemunduran yang dialami Dinasti Bani Abbasiyah di Timur. Ia adalah penguasa Dinasti Bani Umayyah (di Spanyol) yang pertama kali memakai gelar khalifah, sehingga pada masa itu ada tiga dinasti Islam yang memakai gelar khalifah, Dinasti Bani Abbasiyah di Timur, Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol, dan Fatimiyah di Mesir. Pada masa pemerintahan Abdurrahman III inilah Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol mencapai fase keemasan. Dengan demikian, pada masa ini, ada tiga dinasti Islam yang mengalami fase kemajuan dan sama-sama memakai gelar khalifah, yaitu Dinasti Bani Abbasiyah di Timur, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, dan Fatimiyah di Mesir.
2) Al-Hakam II
Al-Hakam II (350-366 H/961-976 M) mewarisi kekhalifahan Dinasti Bani Umayyah (di Spanyol) yang penuh kedamaian dan kesuksesan dari Sang Ayah. Hanya ada beberapa peperangan penting yang melibatkan pasukan Hakam II, di antaranya perang melawan pasukan Kristen di Lyon yang melanggar perjanjian damai dengan Dinasti Bani Umayyah (di Spanyol). Hakam II juga mengirimkan sejumlah pasukan ke Maroko Utara dan Tengah. Di sana, ia berhasil mengusir pasukan dinasti Fatimiyah dan Idrisiyah yang semula mendudukinya. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia banyak mendatangkan buku-buku dari Damaskus, Bagdad, dan Kairo untuk mengisi perpustakaan Negara di daerah Cordoba. Ia memegang pemerintahan selama 16 tahun dan meninggal pada tahun 366 H/976 M.
c. Fase Kemunduran dan Kejatuhan (976-1013)
3) Hisyam II (366-399 H/976-1009 M)
Al-Hakam II digantikan Hisyam II (366-399 H/976-1009 M) yang memegang tampuk pemerintahan ketika baru berumur 10 tahun. Pada saat inilah Dinasti Bani Umayyah II mulai lemah. Umurnya yang baru 10 tahun berimbas pada ketidakcakapan nya mengelola jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, orang yang paling berpengaruh dan berwenang menjalankan administrasi negara adalah Ibnu Abi Amir, yang kemudian dikenal sebagai al-Mansur, yang sebelumnya menjadi pengurus rumah tangga dan seorang penulis surat resmi kerajaan masa al-Hakam II. Ia tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah II. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Sejak kecil, Ibnu Abi Amir adalah orang yang dikenal sangat pandai dan cekatan. Ia juga seorang yang lihai melihat situasi dan memanfaatkan kesempatan yang ada di depan matanya. Bermula dari kedekatannya dengan ibu Hisyam II, ia mulai mendapatkan kepercayaan mengelola mahkamah di beberapa kota dan menjadi pengawas pelaksanaan zakat dan administrasi lainnya.
Ketika banyak keluarga kerajaan yang menentang terpilihnya Hisyam II sebagai khalifah, Ibnu Abi Amir datang sebagai dewa penyelamat yang mengamankan situasi dan memaksa mereka menerima Hisyam II sebagai khalifah. Keberhasilan ini menarik simpati dari kalangan masyarakat luas karena Ibnu Abi Amir beralasan bahwa apa yang ia lakukan adalah demi menjaga keutuhan negara. Ia juga berhasil menyingkirkan salah seorang panglima perang Dinasti Bani Umayyah II yang didakwa berkhianat dan korupsi, Jakfar bin Usman al-Mushhafi. Dan sebagai panglima perang berikutnya, Ibnu Abi Amir berhasil menarik simpati tentara bawahannya dengan kesuksesannya menaklukkan kota Lyon. Dengan kesuksesan yang berturut-turut ini, ia mendapat julukan al-Manshur Billah. Selain berhasil menarik simpati keluarga kerajaan dan para tentara, Ibnu Abi Amir juga berhasil mencuri perhatian para ulama. Ia memerintahkan untuk membakar buku-buku filsafat, yang notabene menjadi buku-buku “tercekal” dalam kamus ulama fiqh, di semua sudut kota Cordoba. Ia juga dikenal sebagai orang yang oportunis. Misalnya, ketika ia khawatir akan datangnya serangan dari bangsa Arab dan Perancis, maka ia merekrut sejumlah besar pasukan dari kaum Kristen yang loyal dan bangsa Barbar. Sungguh ini adalah sebuah siasat yang jitu.
Keberhasilannya mendapatkan simpati tentaranya bermula dari penaklukan kota Lyon yang sangat dramatis. Ketika pasukannya mulai putus asa menghadapi pasukan Lyon, ia maju dengan melepas penutup kepalanya ke arah musuh. Hal ini kembali mengobarkan semangat tentara yang ia pimpin, Dengan keadaan seperti ini, Khalifah Hisyam II tidak lebih dari sebuah simbol yang tidak berarti. la sama sekali tidak mempunyai prestasi dalam menjalankan pemerintahannya. Bahkan ia dikenal sebagai seorang khalifah yang suka bermain-main dan menghabiskan harta. Ibnu Abi Amir menguasai jalannya pemerintahan-dalam artian sebagai pengatur tak resmi kerajaan-Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol selama lebih dari 27 tahun. Ia sakit dan wafat pada tahun 392 H/1002 M. Putranya, al-Mudzaffar, menggantikannya, namun hanya bertahan selama enam tahun (393-399 H/1003-1009 M). Hampir bersamaan dengan pemakamannya, terjadi perselisihan mengenai kepemimpinan kaum Muslim di Andalusia antara keluarga al-Mansur dan Hisyam II dan cucu Abdurrahman III. Mulai saat itu, terjadi perebutan kursi khalifah. Dalam jangka waktu 22 tahun terjadi 14 kali pergantian kepemimpinan, umumnya melalui kudeta, dan lima orang khalifah di antaranya naik tahta dua kali. Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol akhirnya runtuh ketika Khalifah Hisyam III Ibn Muhammad III yang bergelar al-Mu'tadhi (418-422 H/ 1027-1031 M) disingkirkan oleh sekelompok angkatan bersenjata.
Para pemuka penduduk Cordoba segera meminta Abdurrahman V agar bersedia menjadi khalifah. Tetapi, ia tidak sempat menikmati jabatan itu, karena harus bersembunyi menyelamatkan diri dari kejaran para musuhnya. Pada waktu itu, Wazir (PM) Abu al-Hazm ibn Jawhar memaklumkan penghapusan khalifah karena dianggap sudah tidak ada yang layak lagi mendudukinya. Setelah itu, Andalusia masih di bawah kekuasaan umat Islam, tetapi dikuasai oleh raja-raja kecil atau disebut sebagai Muluku at-Thawaif.
3. Periode Raja-raja Kecil/Muluku at-Tawaif (1013-1086)
Berikut ini, raja-raja kecil yang terkenal pada waktu itu:
a. Bani Abad di Sevilla
b. Bani Hamud al-Idrisiyah di Malaga dan Algericas
c. Bani Ziri di Granada
d. Bani Hud di Zaragova
e. Bani an-Nun di Toledo, yang merupakan dinasti terkuat di antara semua raja-raja kecil.
Sebagian raja-raja tersebut memimpin pemerintahan secara baik, walaupun sebagian besar lainnya tiran dan penindas. Di sisi lain, mereka Sangat mencintai ilmu pengetahuan. Istana-istana mereka dijadikan sebagai pertemuan kalangan sastrawan dan ulama. Penulis Mu'jam al-Buldan berkata tentang salah satu kota di Andalusia, “Aku pernah mendengar seseorang yang tidak dikenal berkata, “Jarang sekali engkau lihat penduduknya kecuali berbicara soal sastra. Seandainya engkau melewati seorang petani yang tengah berada di belakang tanah garapan mereka, lalu menanyainya tentang sastra, ia pasti akan menghabiskan waktunya untuk menjelaskan apa yang engkau tanyakan.”
Pada masa ini Raja Alfonso VI berhasil menyatukan tiga kerajaan, Asturias, Leon, dan Castilia. Ia ingin memanfaatkan ketidakstabilan dan kekacauan pemerintahan raja-raja Islam di Andalusia dengan meminta upeti dan hadiah-hadiah. Alfonso VI selalu menerima semua hadiah itu sebagai bekal persiapan untuk menyerang mereka, tanpa sedikit pun mereka sadari.
4. Periode Daulah Murabithun (860-1143) dan Muwahhidun (11461248)
Walaupun keberadaan Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia terpecah-pecah, namun masih ada dua dinasti kuat di Afrika yang sering membantu gangguan dari luar, yaitu Daulah Murabithun (860-1143) dan Muwahhidun (1146-1248). Murabithun adalah sejumlah suku yang dinisbatkan kepada Bani Himyar. Suku-suku ini masuk ke Magribi-Afrika bersama rombongan Musa bin Nushair, lalu bertolak ke Tangier bersama Thariq bin Ziyad. Kelompok ini sangat mengagumi sosok Thariq. Tokoh dan pendiri Daulah Murabithun adalah Yusuf ibn Tasfin, seorang laki-laki yang taat beragama, berprinsip, dan cerdas. Penaklukan demi penaklukan dia lakukan sampai hampir seluruh Magribi-Afrika dia kuasai. Dia memilih Maroko sebagai ibu kota kerajaannya.
Yusuf ibn Tasyfin memenuhi saudara-saudara sesama muslim di Andalusia untuk mempertahankan keberadaan Wilayah di Andalusia dari serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Andalusia pada tahun 1086 dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia di bawah pimpinan Raja Alfonso VI. Pasukan Tasyfin berhasil membawa harta rampasan pasukan Kristen dan membaginya ke Muluku at-Thawaif. Setelah kemenangan itu, Tasyfin kembali ke Maroko, dengan meninggalkan 3.000 pasukannya guna menjaga dan melindungi penduduk Andalusia dari serangan musuh. Penguasa pengganti Tasyfin adalah raja-raja yang lemah, dan Daulah ini berakhir pada tahun 1143. Dengan berakhirnya Daulah ini maka berakhir pula kekuasaannya baik di Maroko maupun di Andalusia, dan digantikan oleh Daulah Muwahhidun.
Daulah ini didirikan oleh Muhammad ibn Tumart (W. 1130), seorang Berber dari suku Masmuda, kemudian disebut sebagai al-Mahdi, yang berarti 'yang diberi petunjuk.' Ia meninggal pada tahun 1130, dan digantikan oleh anaknya, bernama Abdul Mun'im. Pada tahun 1145, ia dapat mengalahkan sisa-sisa kekuatan Daulah Murabithun pada tahun 1145. Setelah itu, seluruh Afrika Utara dibawah kekuasaan Daulah Muwahhidun. Kemudian, Abdul Mun'im mengalihkan perhatiannya ke Andalusia, tempat para raja-raja kecil telah menyadari betapa mengerikannya penaklukan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen.
Pada tahun 1145, setelah mengalahkan Daulah Murabithun, pasukan pertama Daulah Muwahhidun mendarat di Andalusia dan berhasil mengambil alih Algericas. Empat tahun kemudian, mereka menyebar ke arah utara, menduduki Sevile dan Malaga pada tahun 1146, Cordoba dan Jaen pada 1149. Tetapi, pasukan ini tidak berhasil merebut kembali kota Almeria. Kegagalan pasukan ini karena Raja Portugis Akfonso Enriques berhasil mempertahankan kota itu dengan bantuan perajurit Perang Salib dari Inggris, Perancis, Jerman.
Pada tahun 1151, Abdul Mun'im mengirim pasukan 20.000 orang di bawah kepemimpinan Abu Hafs ke Andalusia dan berhasil merebut kembali Almeria. Setelah kemenangan ini, Daulah Muwahhidun meluas dengan cepat, bukan saja di semenanjung Afrika, tetapi juga menguasai seluruh bagian selatan semenanjung Iberia. Efek dari penaklukan ini adalah bersatunya kembali Islam di bagian Selatan Andalusia pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13. Umat Islam selama kurun waktu periode ini dapat menjalankan aktifitas mereka dalam berbagai bidang kehidupan. Di Murcia umpamanya, lahir seorang filosof terkenal asy-Syaekh al-Akbar Muhyi ad-Din ibnu Arabi pada tahun 1165. Beberapa karyanya yang terkanal sampai saat ini adalah Fushus al-Hikam dan Al-Futuh al-Makkiyyah.
Tetapi pada tahun pada tahun 1212 tentara Kristen-Salib berhasil memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Pimpinan tentara Muwahhidun an-Nashir tidak dapat mengimbangi tentara Kristen-Salib yang disukung oleh para tentara dari Perancis, Jerman, Inggris, dan Italia. Pertempuran ini menandai berakhirnya era kekuasaan Daulah Muwahhidun di Andalusia. Satu per satu Wilayah Andalusia jatuh ke tentara Kristen-Salib di bawah pimpinan Ferdinand III (Raja Castilla) dan Chaime I (Raja Aragon), Yaitu tahun 1238 Cordoba, disusul kemudian Sevilla pada tahun 1248. Sampai periode ini, hanya Granada yang berhasil dipertahankan oleh Daulah Bani Ahmar (1232-1492).
5. Periode Daulah Bani Ahmar (1232-1492) sampai Kejatuhan Granada
Pendiri Daulah Bani Ahmar adalah Muhammad ibn Yusuf yang konon masih keturunan suku Khazraj di Madinah. Ia dikenal berakhlak mulia dan berintegritas tinggi. Oleh sebab itu, ia diberi gelar “Syekh” sebagai pengakuan atas kepemimpinannya pada Bani Nashr. Melihat situasi dan kondisi yang ada, Bani Ahmar hanya mempunyai keinginan mempertahankan Granada.
Granada merupakan satu-satunya kekuatan Islam yang sanggup membendung gempuran para musuh. Bahkan Granada meraih kejayaan di bidang sastra dan ilmu pengetahuan. Keberhasilan ini disebabkan oleh mayoritas umat Islam yang sebelumnya kalah berperang di Andalusia bertolak menuju Granada. Mereka berasal dari kalangan petani, pedagang, dan sebagainya. Granada pada akhirnya menjadi kota yang maju dan berkembang.
Kekuatan Islam melemah di Granada karena perebutan kekuasaan antara para keturunan kerajaan. Tidak ada lagi kekuatan Islam di Magribi seperti Daulah Murabithun dan Muwahhidun yang suka menolong sesama muslim di Andalusia. Sedangkan faktor eksternal disebabkan karena bersatunya tentara Salib dengan pernikahan Ferdinand (Raja Aragon) dengan Isabella (Ratu Castilla) untuk merebut Granada sebagai benteng terakhir umat Islam sangat berpengaruh terhadap kejatuhan Granada.
Pada tahun 1491, Ferdinand mulai mengepung Granada. Selama tujuh bulan umat Islam dikepung di Granada sampai semua makanan yang ada di Granada habis. Pada saat itulah, Khalifah Granada Abu Abdullah mengambil keputusan untuk mengadakan perjanjian dengan Ferdinand, daripada melihat umat Islam mati kelaparan. Pada tahun 1492, Granada diserahkan ke Raja Ferdinand. Abu Abdullah menuju ke Maroko sebagai pengasingannya. Dalam perjalanannya, dia menangisi apa yang terjadi padanya, saat itulah ibundanya Aisyah al-Hurrah berkata kepadanya, “Jangan menangis seperti seorang perempuan untuk sesuatu yang tidak dapat kau pertahankan.”
Sejalan dengan prestasi yang telah dicapai oleh Dinasti Bani Umayyah di Andalusia dalam bidang politik dan pemerintahan, maka di bidang lain, yaitu bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Dinasti Bani Umayyah telah mencapai keberhasilan seperti akan dikemukakan dalam bab IV.
1. Periode Dinasti Bani Umayyah I di Damaskus (711-755 M)
Pada masa ini Andalusia berada di bawah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah I yang berpusat di Damaskus di bawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan (705-715 M). Damaskus mengangkat wali di Andalusia. Salah satu penakluk wilayah ini, Musa bin Nushair kemudian digantikan anaknya bernama Abdul Aziz merupakan wali pertama yang bertugas mengelola pemerintahan di Andalusia.
2. Periode Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia (138-422 H/756-1031 M)
Dinasti yang didirikan oleh ad-Dakhil ini berlangsung selama dua tiga per empat abad (138-422 H/756-1031 M). Sedangkan para amir dan khalifah yang pernah memimpin dari Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia adalah:
1. Abdurrahman ad-Dakhil (138-172 H/756-788 M)
2. Hisyam I (172-180 H/788-796 M)
3. Al-Hakam I (180-206 H/796-822 M)
4. Abdurrahman II (206-238 H/822-852 M)
5. Muhammad I (238-273 H/852-886 M)
6. Al-Munzir (273-375 H/886-888 M)
7. Abdullah (275-300 H/888-912 M)
8. Abdurrahman III (300-317 H/912-929=Muhammad, menjadi khalifah 317-350 H/929-961 M)
9. Al-Hakam II (350-366 H/961-976 M)
10. Hisyam II (366-399, 400-403 H/976-1009, 1010-1013 M)
11. Muhammad II (399-400 H/1009-1010 M)
12. Sulaiman (399-400, 403-407 H/1009-1010, 1013-1016 M)
13. Abdurrahman IV (409 H/1018 M)
14. Abdurrahman V (414 H/1023 M)
15. Muhammad 111 (414-416 H/1023-1025 M)
16. Hisyam III (418-422 H/1027-1031 M)
Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia memang berakhir pada tahun 1031, namun untuk selanjutnya Andalusia masih tetap di bawah kekuasaan umat Islam yang dipimpin oleh beberapa pemimpin dari beberapa daulah. Berikut ini adalah fase-fase sejarah umat Islam di Andalusia dibawah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah II.
a. Fase Perintisan (756-912)
1) Abdurrahman ad-Dakhil
Abdurrahman ad-Dakhil pada masa awal pemerintahannya berhasil meredam pemberontakan dari internal Andalusia sendiri, dan menahan Serangan-serangan yang dilakukan Dinasti Bani Abbasiyah dari Timur. Ia melakukan taktik segera mengeksekusi para pemimpin mereka yang coba menggulingkannya dan dengan cepat pula ia maafkan setiap orang pengikut mereka yang setelah itu menerima dia sebagai Amir. Pada tahun 763, Abdurrahman berhasil memukul mundur sebuah serangan Dinasti Bani Abbasiyah dan mengeksekusi pemimpinnya.
Pada tahun 777, Dinasti Bani Abbasiyah mengirim utusan ke Raja Charlemagne di bagian selatan Perancis. Kedua pihak mengatur strategi agar ada pemberontakan dari dalam Andalusia dengan dibantu Abbasiyah, dan secara bersamaan ada serangan dari utara yang dipimpin Charlemagne. Serangan ganda ini tidak terorganisir secara baik, dan Abdurrahman berhasil menumpas pemberontakan Abbasiyah sebelum Charlemagne memasuki Andalusia. Ketika ia memasuki Andalusia tahun 778, segera Abdurrahman memukul mundur pasukan Charlemagne dan menderita kekalahan hebat dalam penyergapan di Roncesvalles.
Perselisihan dan pertikaian yang terjadi antara suku yang berbeda-beda, serta antara bangsa dan etnis yang berbeda-beda di Andalusia jauh berkurang selama dipimpin oleh Abdurrahman. Perselisihan dan pertikaian seperti itu segera dapat didamaikan dengan segera. Dengan menyelesaikan semua pemberontakan dan perselisihan secara langsung, Abdurrahman mempunyai kedudukan istimewa di kalangan masyarakat Andalusia. Mereka tidak memilih Pemimpin selain Abdurrahman. Ibnu Hayyan menggambarkan Abdurrahman sebagai berikut:
Ia fasih dalam berpidato, dan diberkahi daya pemahaman yang cepat; ia amat lambat dalam membuat ketetapan, tetapi senantiasa konstan dan tekun dalam membuat keputusan-keputusannya itu berlaku; ia merupakan pengecualian dari semua kelemahan, serta tepat dalam gerak-geriknya; ia aktif dan Semangat dalam mengembara; ia tidak pernah berbaring malas-malasan atau Membiarkan dirinya terseret kegemaran; ia tidak pernah mempercayakan urusan-urusan pemerintahan kepada siapa pun melainkan menangani sendiri, tetapi ia tak pernah abai berkonsultasi mengenai kasus-kasus yang sukar dengan orang yang arif dan bijaksana serta berpengalaman; ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan tidak takut bahaya, senantiasa di barisan depan di medan tempur; ia sangat tidak menyenangkan dalam kemarahannya, serta tidak dapat menerima adanya penentangan terhadap keputusannya; ia dapat berbicara secara fasih dan elegan; ia pun seorang penyair yang baik; ia adalah seorang pangeran yang dermawan, murah hati, dan banyak memberikan hadiah; ia menyukai pakaian putih, dan memakai surban berwarna sama, warna yang lebih ia sukai dibanding dengan warna-warna lainnya; roman wajahnya menginspirasikan kekaguman bagi siapa saja yang mendatanginya, baik kawan maupun lawan. Ia senantiasa menghadiri pemakaman dan mendoakan orang yang mati; ia melaksanakan salat bersama-sama masyarakat saat datang ke masjid pada hari Jum'at dan hari-hari perayaan lainnya, pada saat-saat itulah ia naik ke atas mimbar dan menyapa rakyatnya. Ia menjenguk orang-orang yang sakit dan berbaur dengan rakyat, menghadiri kegembiraan dan hiburan-hiburan mereka.
2) Hisyam I
Abdurrahman ad-Dakhil wafat pada tahun 172/788 M. Hisyam I (172-180 H/788-796 M) naik tahta menggantikan ayahnya, Abdurrahman I. Sebagian sejarawan menilainya mirip dengan Umar bin Abdul Aziz dalam hal ketegasan sikap. Ia sangat besar perhatiannya terhadap kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Ia terkenal sebagai khalifah yang dekat dengan para ulama. Mereka mendapatkan kesempatan besar untuk mengembangkan dan menularkan kemampuan mereka kepada rakyat serta mendapatkan kedudukan yang cukup diperhitungkan dalam pemerintahan. Di antara ulama yang hidup dalam masa pemerintahannya adalah Yahya bin Yahya al-Laitsi, salah seorang murid kesayangan Imam Malik. Dalam menjaga reputasi pemerintahannya, Hisyam terkenal sebagai khalifah yang tidak segan-segan memecat pejabat yang dinilai lalai dan korup. Ia mendirikan semacam dinas intelejen yang bertugas mengawasi para pejabat. Ia juga dikenal sangat populis, adil dan sebagai pencetus pengajaran bahasa Arab di sekolah-sekolah Spanyol, termasuk sekolah Yahudi. Setelah memerintah selama tujuh tahun sembilan bulan, ia wafat dengan meninggalkan kejayaan kekhalifahannya, tepatnya pada tahun180 H/796 M.
3) Al-Hakam
Hisyam digantikan anaknya, al-Hakam I (180-206 H/796-822 M). Semenjak pemerintahan al-Hakam, Spanyol mulai merasakan kemunduran yang signifikan. Ia merupakan khalifah yang pertama kali menerapkan sistem sekularisme dalam pemerintahannya. Peran ulama pada masa itu dibatasi hanya dalam ranah religius, dan tidak diperbolehkan mempunyai andil dalam jalannya pemerintahan. Sikap ini menyulut pemberontakan para ulama di bawah pimpinan Yahya bin Yahya al-Laitsi di Cordoba. Namun pemberontakan itu berhasil dipadamkan.
Di Tolitolia dan Valencia, pemberontakan juga terjadi di bawah pimpinan dua paman al-Hakam. Tetapi, pemberontakan ini tidak mampu menggeser al-Hakam dari kursi kekhalifahannya. Karena seringnya terjadi perang saudara antar umat Islam, raja-raja Kristen di Utara berupaya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyerbu daerah perbatasan Spanyol, namun tentara al-Hakam berhasil mengusir kaum Kristen dari wilayah tersebut. Sementara itu, dendam kesumat antara Dinasti Bani Abbasiyah di timur dan Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol terus berlangsung. Situasi ini memberi keuntungan kepada kekaisaran Perancis. Pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid, raja Perancis meneken kerja sama bilateral yang berisikan nota kesepahaman antar dua negara, Dinasti Bani Abbasiyah dan Perancis. Isi kerja sama tersebut adalah pemberian izin kepada Dinasti Bani Abbasiyah untuk menempatkan orang-orangnya di Perancis untuk menahan infasi Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol ke daerah kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah. Sebagai gantinya, Dinasti Bani Abbasiyah harus mengizinkan tentara Perancis melewati daerah kekuasaan Abbasiyah untuk menyerbu kekaisaran Bizantium. Setelah memegang tampuk pemerintahan selama 27 tahun, al-Hakam I wafat dan digantikan putranya, Abdurrahman al-Ausath (206-238 H /822-852 M).
4) Abdurrahman al-Ausath
Dia mendapat julukan al-Ausath karena posisinya sebagai penengah antara Abdurrahman ad-Dakhil dan Abdurrahman an-Nashir. Pada masa pemerintahannya, Spanyol mengalami banyak kemajuan dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, kultural dan sosial. Kemajuan dalam bidang-bidang tersebut hampir menyaingi kemajuan yang telah dicapai Dinasti Bani Abbasiyah dalam periode yang sama. Dia banyak mendatangkan kitab-kitab Yunani yang telah diterjemahkan para Khalifah Abbasiyah ke Cordoba.
Khalifah-khalifah Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia, termasuk Abdurrahman al-Ausath sangat toleran terhadap multikulturalisme dan perbedaan agama. Mereka sering mengadakan kerja sama dengan para raja-raja Kristen di perbatasan untuk saling menjaga perdamaian dan wilayah teritorial kedua belah pihak dari serangan musuh. Namun di sisi lain, banyak pihak yang berusaha menodai toleransi ini. Para pastor Kristen misalnya, mereka secara terang-terangan berani mencela Nabi Muhammad. Tentu ini adalah sebuah penghinaan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pada akhirnya, Abdurrahman al-Ausath memerintahkan pasukannya untuk melenyapkan mereka, sehingga para pemuka Kristen bersepakat meredakan ketegangan antar kedua belah pihak dengan mengharamkan penghinaan terhadap Nabi Muhammad di muka umum.
Kerja sama antara Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia dan wilayah-wilayah Kristen di perbatasan juga diwarnai dengan pengkhianatan kaum Kristen. Gubernur Lyon, Alfonso, beserta beberapa Gubernur Kristen di Wilayah Utara Spanyol berusaha mengeruhkan suasana. Mereka menyerang daerah perbatasan sebelah Utara. Serangan ini dapat segera dipadamkan dengan serangan balik ke wilayah Kristen di sana. Kekuatan pasukan Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia pada masa pemerintahan Abdurrahmanan al-Ausath sangat disegani bahkan oleh kekaisaran Konstantinopel. Kekaisaran Konstantinopel mengirimkan sejumlah utusan kepada Abdurrahman untuk mengadakan sebuah perjanjian damai. Perjanjian damai antara Konstantinopel dan Spanyol merupakan tandingan atas kerja sama serupa yang dilakukan oleh Dinasti Bani Abbasiyah dan Perancis. Siasat politik ini terbukti sangat jitu dengan ketidakmampuan para khalifah Dinasti Bani Abbasiyah menguasai wilayah Spanyol. Meski Dinasti Bani Abbasiyah secara teritorial dan politis tidak dapat menguasai wilayah Spanyol, namun mereka mampu memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam bidang kultural dan ekonomi. Penyelenggaraan sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia banyak berkiblat pada sistem pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, seperti dalam pembangunan baitul mal dan pabrik garmen yang banyak meniru corak dan warna garmen produksi Dinasti Bani Abbasiyah. Hal ini karena Abdurrahman al-Ausath mengirimkan sejumlah pengamat-meski kedua klan: Bani Umayyah II dan Bani Hasyim saling bermusuhan sejak zaman Jahiliyah-untuk meneliti sistem pemerintahan dan mengamati kemajuan sosio-politik Dinasti Bani Abbasiyah.
5) Muhammad I (238-273 H/852-886 M)
6) Al-Mundzir (273-275 H/886-888 M), dan
7) Abdullah (275-300 H/888-912 M)
Abdurrahman al-Ausath digantikan secara berturut-turut oleh tiga orang, yaitu Muhammad I (238-273 H/852-886 M), Al-Mundzir (273-275 H/886-888 M), dan Abdullah (275-300 H/888-912 M). Selama pemerintahan ketiga orang tersebut selama tujuh puluh dua (72) tahun hampir tidak ada peristiwa dan prestasi mencolok yang mereka capai. Hanya ada beberapa kejadian yang tertulis dalam sejarah, misalnya penumpasan terhadap pemberontakan di Barcelona dan Tholitolia.
Setelah memegang tampuk pemerintahan selama 35 tahun, Muhammad I wafat dan digantikan oleh putranya, Mundzir, yang hanya memerintah selama hampir dua tahun. Ia kemudian digantikan oleh Abdullah.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abdullah (275-300 H/888-912 M), wilayah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah menciut karena banyak terjadi pemberontakan kaum Kristen di sekitar Wilayah Cordoba dan Utara Spanyol. Pada masa ini, banyak wilayah Spanyol yang memisahkan diri karena ketidakcakapan Abdullah dalam melaksanakan roda pemerintahannya. Selama 24 tahun masa pemerintahannya, kekuasaan dan wilayah Dinasti Bani Umayyah hanya tersisa pada daerah Granada yang menjadi benteng terakhir dinasti tersebut. Banyak wilayah yang memisahkan diri, semisal Algarave, Elvira, dan Murcia. Wilayah-wilayah tersebut banyak didiami oleh bangsa minoritas yang mampu menciptakan sebuah tirani minoritas, mereka mengendalikan hampir semua bidang kehidupan bahkan dapat mengalahkan penduduk pribumi.
b. Fase Keemasan (912-976)
1) Abdurrahman III
Setelah wilayah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol semakin menciut, datanglah seorang penyelamat yang dapat meneruskan kelangsungan hidup dinasti tersebut, yaitu Abdurrahman III (300-350 H/912-961 M). Ia memegang pemerintahan pada usia 21 tahun. Dengan berbekal kemampuan dan kewibawaannya ia berhasil memadamkan pemberontakan dan mengembalikan daerah-daerah yang memisahkan diri. Namun, ia mengalami sedikit kesulitan dalam memadamkan pemberontakan Umar bin Hafshun. Pada akhirnya, pasukan yang dikirim Abdurrahman berhasil menumpas Umar dan seluruh pengikutnya di persembunyiannya di pegunungan Bobastro. Pemberontakan yang terakhir dihadapi Abdurrahman III adalah pemberontakan yang terjadi di Tholitolia. Ia baru dapat menaklukkan benteng kota tersebut pada tahun 320 H/932 M. Dalam masa kurang dari 20 tahun, beliau berhasil mengembalikan semua daerah yang memisahkan diri ke pangkuan Dinasti Bani Umayyah di Spanyol.
Sementara itu, pasukan Kristen di Utara Spanyol terus mengganggu wilayah Islam. Maka Abdurrahman III terjun langsung memimpin sejumlah pasukan yang berusaha mengamankan daerah Islam. Ia berhasil menaklukkan daerah Kristen Osma, St. Estevano dan semua daerah kekuasaan Kristen di Utara. Di samping berhasil menaklukkan daerah Kristen di Utara Spanyol, Abdurrahman III juga berhasil mengamankan daerah perbatasan dengan Perancis. Kebijakan luar negeri ini juga diikuti dengan kelihaiannya dalam melaksanakan pembangunan negara dalam berbagai bidang. Pembangunan material difokuskan pada pembangunan dermaga dan pelabuhan perdagangan. Keberhasilannya melaksanakan pembangunan dan perluasan wilayah tidak terlepas dari kemunduran yang dialami Dinasti Bani Abbasiyah di Timur. Ia adalah penguasa Dinasti Bani Umayyah (di Spanyol) yang pertama kali memakai gelar khalifah, sehingga pada masa itu ada tiga dinasti Islam yang memakai gelar khalifah, Dinasti Bani Abbasiyah di Timur, Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol, dan Fatimiyah di Mesir. Pada masa pemerintahan Abdurrahman III inilah Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol mencapai fase keemasan. Dengan demikian, pada masa ini, ada tiga dinasti Islam yang mengalami fase kemajuan dan sama-sama memakai gelar khalifah, yaitu Dinasti Bani Abbasiyah di Timur, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, dan Fatimiyah di Mesir.
2) Al-Hakam II
Al-Hakam II (350-366 H/961-976 M) mewarisi kekhalifahan Dinasti Bani Umayyah (di Spanyol) yang penuh kedamaian dan kesuksesan dari Sang Ayah. Hanya ada beberapa peperangan penting yang melibatkan pasukan Hakam II, di antaranya perang melawan pasukan Kristen di Lyon yang melanggar perjanjian damai dengan Dinasti Bani Umayyah (di Spanyol). Hakam II juga mengirimkan sejumlah pasukan ke Maroko Utara dan Tengah. Di sana, ia berhasil mengusir pasukan dinasti Fatimiyah dan Idrisiyah yang semula mendudukinya. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia banyak mendatangkan buku-buku dari Damaskus, Bagdad, dan Kairo untuk mengisi perpustakaan Negara di daerah Cordoba. Ia memegang pemerintahan selama 16 tahun dan meninggal pada tahun 366 H/976 M.
c. Fase Kemunduran dan Kejatuhan (976-1013)
3) Hisyam II (366-399 H/976-1009 M)
Al-Hakam II digantikan Hisyam II (366-399 H/976-1009 M) yang memegang tampuk pemerintahan ketika baru berumur 10 tahun. Pada saat inilah Dinasti Bani Umayyah II mulai lemah. Umurnya yang baru 10 tahun berimbas pada ketidakcakapan nya mengelola jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, orang yang paling berpengaruh dan berwenang menjalankan administrasi negara adalah Ibnu Abi Amir, yang kemudian dikenal sebagai al-Mansur, yang sebelumnya menjadi pengurus rumah tangga dan seorang penulis surat resmi kerajaan masa al-Hakam II. Ia tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah II. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Sejak kecil, Ibnu Abi Amir adalah orang yang dikenal sangat pandai dan cekatan. Ia juga seorang yang lihai melihat situasi dan memanfaatkan kesempatan yang ada di depan matanya. Bermula dari kedekatannya dengan ibu Hisyam II, ia mulai mendapatkan kepercayaan mengelola mahkamah di beberapa kota dan menjadi pengawas pelaksanaan zakat dan administrasi lainnya.
Ketika banyak keluarga kerajaan yang menentang terpilihnya Hisyam II sebagai khalifah, Ibnu Abi Amir datang sebagai dewa penyelamat yang mengamankan situasi dan memaksa mereka menerima Hisyam II sebagai khalifah. Keberhasilan ini menarik simpati dari kalangan masyarakat luas karena Ibnu Abi Amir beralasan bahwa apa yang ia lakukan adalah demi menjaga keutuhan negara. Ia juga berhasil menyingkirkan salah seorang panglima perang Dinasti Bani Umayyah II yang didakwa berkhianat dan korupsi, Jakfar bin Usman al-Mushhafi. Dan sebagai panglima perang berikutnya, Ibnu Abi Amir berhasil menarik simpati tentara bawahannya dengan kesuksesannya menaklukkan kota Lyon. Dengan kesuksesan yang berturut-turut ini, ia mendapat julukan al-Manshur Billah. Selain berhasil menarik simpati keluarga kerajaan dan para tentara, Ibnu Abi Amir juga berhasil mencuri perhatian para ulama. Ia memerintahkan untuk membakar buku-buku filsafat, yang notabene menjadi buku-buku “tercekal” dalam kamus ulama fiqh, di semua sudut kota Cordoba. Ia juga dikenal sebagai orang yang oportunis. Misalnya, ketika ia khawatir akan datangnya serangan dari bangsa Arab dan Perancis, maka ia merekrut sejumlah besar pasukan dari kaum Kristen yang loyal dan bangsa Barbar. Sungguh ini adalah sebuah siasat yang jitu.
Keberhasilannya mendapatkan simpati tentaranya bermula dari penaklukan kota Lyon yang sangat dramatis. Ketika pasukannya mulai putus asa menghadapi pasukan Lyon, ia maju dengan melepas penutup kepalanya ke arah musuh. Hal ini kembali mengobarkan semangat tentara yang ia pimpin, Dengan keadaan seperti ini, Khalifah Hisyam II tidak lebih dari sebuah simbol yang tidak berarti. la sama sekali tidak mempunyai prestasi dalam menjalankan pemerintahannya. Bahkan ia dikenal sebagai seorang khalifah yang suka bermain-main dan menghabiskan harta. Ibnu Abi Amir menguasai jalannya pemerintahan-dalam artian sebagai pengatur tak resmi kerajaan-Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol selama lebih dari 27 tahun. Ia sakit dan wafat pada tahun 392 H/1002 M. Putranya, al-Mudzaffar, menggantikannya, namun hanya bertahan selama enam tahun (393-399 H/1003-1009 M). Hampir bersamaan dengan pemakamannya, terjadi perselisihan mengenai kepemimpinan kaum Muslim di Andalusia antara keluarga al-Mansur dan Hisyam II dan cucu Abdurrahman III. Mulai saat itu, terjadi perebutan kursi khalifah. Dalam jangka waktu 22 tahun terjadi 14 kali pergantian kepemimpinan, umumnya melalui kudeta, dan lima orang khalifah di antaranya naik tahta dua kali. Dinasti Bani Umayyah II di Spanyol akhirnya runtuh ketika Khalifah Hisyam III Ibn Muhammad III yang bergelar al-Mu'tadhi (418-422 H/ 1027-1031 M) disingkirkan oleh sekelompok angkatan bersenjata.
Para pemuka penduduk Cordoba segera meminta Abdurrahman V agar bersedia menjadi khalifah. Tetapi, ia tidak sempat menikmati jabatan itu, karena harus bersembunyi menyelamatkan diri dari kejaran para musuhnya. Pada waktu itu, Wazir (PM) Abu al-Hazm ibn Jawhar memaklumkan penghapusan khalifah karena dianggap sudah tidak ada yang layak lagi mendudukinya. Setelah itu, Andalusia masih di bawah kekuasaan umat Islam, tetapi dikuasai oleh raja-raja kecil atau disebut sebagai Muluku at-Thawaif.
3. Periode Raja-raja Kecil/Muluku at-Tawaif (1013-1086)
Berikut ini, raja-raja kecil yang terkenal pada waktu itu:
a. Bani Abad di Sevilla
b. Bani Hamud al-Idrisiyah di Malaga dan Algericas
c. Bani Ziri di Granada
d. Bani Hud di Zaragova
e. Bani an-Nun di Toledo, yang merupakan dinasti terkuat di antara semua raja-raja kecil.
Sebagian raja-raja tersebut memimpin pemerintahan secara baik, walaupun sebagian besar lainnya tiran dan penindas. Di sisi lain, mereka Sangat mencintai ilmu pengetahuan. Istana-istana mereka dijadikan sebagai pertemuan kalangan sastrawan dan ulama. Penulis Mu'jam al-Buldan berkata tentang salah satu kota di Andalusia, “Aku pernah mendengar seseorang yang tidak dikenal berkata, “Jarang sekali engkau lihat penduduknya kecuali berbicara soal sastra. Seandainya engkau melewati seorang petani yang tengah berada di belakang tanah garapan mereka, lalu menanyainya tentang sastra, ia pasti akan menghabiskan waktunya untuk menjelaskan apa yang engkau tanyakan.”
Pada masa ini Raja Alfonso VI berhasil menyatukan tiga kerajaan, Asturias, Leon, dan Castilia. Ia ingin memanfaatkan ketidakstabilan dan kekacauan pemerintahan raja-raja Islam di Andalusia dengan meminta upeti dan hadiah-hadiah. Alfonso VI selalu menerima semua hadiah itu sebagai bekal persiapan untuk menyerang mereka, tanpa sedikit pun mereka sadari.
4. Periode Daulah Murabithun (860-1143) dan Muwahhidun (11461248)
Walaupun keberadaan Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia terpecah-pecah, namun masih ada dua dinasti kuat di Afrika yang sering membantu gangguan dari luar, yaitu Daulah Murabithun (860-1143) dan Muwahhidun (1146-1248). Murabithun adalah sejumlah suku yang dinisbatkan kepada Bani Himyar. Suku-suku ini masuk ke Magribi-Afrika bersama rombongan Musa bin Nushair, lalu bertolak ke Tangier bersama Thariq bin Ziyad. Kelompok ini sangat mengagumi sosok Thariq. Tokoh dan pendiri Daulah Murabithun adalah Yusuf ibn Tasfin, seorang laki-laki yang taat beragama, berprinsip, dan cerdas. Penaklukan demi penaklukan dia lakukan sampai hampir seluruh Magribi-Afrika dia kuasai. Dia memilih Maroko sebagai ibu kota kerajaannya.
Yusuf ibn Tasyfin memenuhi saudara-saudara sesama muslim di Andalusia untuk mempertahankan keberadaan Wilayah di Andalusia dari serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Andalusia pada tahun 1086 dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia di bawah pimpinan Raja Alfonso VI. Pasukan Tasyfin berhasil membawa harta rampasan pasukan Kristen dan membaginya ke Muluku at-Thawaif. Setelah kemenangan itu, Tasyfin kembali ke Maroko, dengan meninggalkan 3.000 pasukannya guna menjaga dan melindungi penduduk Andalusia dari serangan musuh. Penguasa pengganti Tasyfin adalah raja-raja yang lemah, dan Daulah ini berakhir pada tahun 1143. Dengan berakhirnya Daulah ini maka berakhir pula kekuasaannya baik di Maroko maupun di Andalusia, dan digantikan oleh Daulah Muwahhidun.
Daulah ini didirikan oleh Muhammad ibn Tumart (W. 1130), seorang Berber dari suku Masmuda, kemudian disebut sebagai al-Mahdi, yang berarti 'yang diberi petunjuk.' Ia meninggal pada tahun 1130, dan digantikan oleh anaknya, bernama Abdul Mun'im. Pada tahun 1145, ia dapat mengalahkan sisa-sisa kekuatan Daulah Murabithun pada tahun 1145. Setelah itu, seluruh Afrika Utara dibawah kekuasaan Daulah Muwahhidun. Kemudian, Abdul Mun'im mengalihkan perhatiannya ke Andalusia, tempat para raja-raja kecil telah menyadari betapa mengerikannya penaklukan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen.
Pada tahun 1145, setelah mengalahkan Daulah Murabithun, pasukan pertama Daulah Muwahhidun mendarat di Andalusia dan berhasil mengambil alih Algericas. Empat tahun kemudian, mereka menyebar ke arah utara, menduduki Sevile dan Malaga pada tahun 1146, Cordoba dan Jaen pada 1149. Tetapi, pasukan ini tidak berhasil merebut kembali kota Almeria. Kegagalan pasukan ini karena Raja Portugis Akfonso Enriques berhasil mempertahankan kota itu dengan bantuan perajurit Perang Salib dari Inggris, Perancis, Jerman.
Pada tahun 1151, Abdul Mun'im mengirim pasukan 20.000 orang di bawah kepemimpinan Abu Hafs ke Andalusia dan berhasil merebut kembali Almeria. Setelah kemenangan ini, Daulah Muwahhidun meluas dengan cepat, bukan saja di semenanjung Afrika, tetapi juga menguasai seluruh bagian selatan semenanjung Iberia. Efek dari penaklukan ini adalah bersatunya kembali Islam di bagian Selatan Andalusia pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13. Umat Islam selama kurun waktu periode ini dapat menjalankan aktifitas mereka dalam berbagai bidang kehidupan. Di Murcia umpamanya, lahir seorang filosof terkenal asy-Syaekh al-Akbar Muhyi ad-Din ibnu Arabi pada tahun 1165. Beberapa karyanya yang terkanal sampai saat ini adalah Fushus al-Hikam dan Al-Futuh al-Makkiyyah.
Tetapi pada tahun pada tahun 1212 tentara Kristen-Salib berhasil memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Pimpinan tentara Muwahhidun an-Nashir tidak dapat mengimbangi tentara Kristen-Salib yang disukung oleh para tentara dari Perancis, Jerman, Inggris, dan Italia. Pertempuran ini menandai berakhirnya era kekuasaan Daulah Muwahhidun di Andalusia. Satu per satu Wilayah Andalusia jatuh ke tentara Kristen-Salib di bawah pimpinan Ferdinand III (Raja Castilla) dan Chaime I (Raja Aragon), Yaitu tahun 1238 Cordoba, disusul kemudian Sevilla pada tahun 1248. Sampai periode ini, hanya Granada yang berhasil dipertahankan oleh Daulah Bani Ahmar (1232-1492).
5. Periode Daulah Bani Ahmar (1232-1492) sampai Kejatuhan Granada
Granada |
Pendiri Daulah Bani Ahmar adalah Muhammad ibn Yusuf yang konon masih keturunan suku Khazraj di Madinah. Ia dikenal berakhlak mulia dan berintegritas tinggi. Oleh sebab itu, ia diberi gelar “Syekh” sebagai pengakuan atas kepemimpinannya pada Bani Nashr. Melihat situasi dan kondisi yang ada, Bani Ahmar hanya mempunyai keinginan mempertahankan Granada.
Granada merupakan satu-satunya kekuatan Islam yang sanggup membendung gempuran para musuh. Bahkan Granada meraih kejayaan di bidang sastra dan ilmu pengetahuan. Keberhasilan ini disebabkan oleh mayoritas umat Islam yang sebelumnya kalah berperang di Andalusia bertolak menuju Granada. Mereka berasal dari kalangan petani, pedagang, dan sebagainya. Granada pada akhirnya menjadi kota yang maju dan berkembang.
Kekuatan Islam melemah di Granada karena perebutan kekuasaan antara para keturunan kerajaan. Tidak ada lagi kekuatan Islam di Magribi seperti Daulah Murabithun dan Muwahhidun yang suka menolong sesama muslim di Andalusia. Sedangkan faktor eksternal disebabkan karena bersatunya tentara Salib dengan pernikahan Ferdinand (Raja Aragon) dengan Isabella (Ratu Castilla) untuk merebut Granada sebagai benteng terakhir umat Islam sangat berpengaruh terhadap kejatuhan Granada.
Pada tahun 1491, Ferdinand mulai mengepung Granada. Selama tujuh bulan umat Islam dikepung di Granada sampai semua makanan yang ada di Granada habis. Pada saat itulah, Khalifah Granada Abu Abdullah mengambil keputusan untuk mengadakan perjanjian dengan Ferdinand, daripada melihat umat Islam mati kelaparan. Pada tahun 1492, Granada diserahkan ke Raja Ferdinand. Abu Abdullah menuju ke Maroko sebagai pengasingannya. Dalam perjalanannya, dia menangisi apa yang terjadi padanya, saat itulah ibundanya Aisyah al-Hurrah berkata kepadanya, “Jangan menangis seperti seorang perempuan untuk sesuatu yang tidak dapat kau pertahankan.”
Sejalan dengan prestasi yang telah dicapai oleh Dinasti Bani Umayyah di Andalusia dalam bidang politik dan pemerintahan, maka di bidang lain, yaitu bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Dinasti Bani Umayyah telah mencapai keberhasilan seperti akan dikemukakan dalam bab IV.
Post a Comment