Header Ads

Buku SKI

Kerajaan Aceh (1514-1676 M)

Pendiri kerajaan Aceh adalah Raja Ibrahim, bergelar Sultan Ali Mughayat Syah. Ia memerintah pada tahun 1514-1530 M. Pada mulanya Aceh dikuasai oleh Kerajaan Lamuri. Kerajaan Lamuri termasuk kerajaan tua di ujung barat Pulau Sumatera. Pusat kerajaannya terletak di lam Reh, kawasan Aceh Besar sekarang. Penulis China, Zhao Rugua pada tahun 1225 menyebutkan, kerajaan Lamuri setiap tahun mengirim upeti ke kerajaan San-fo-chi (Sriwijaya). Bukti lain kerajaan ini sudah tua terdapat di Lam Reh, yaitu ditemukannya makam Sultan Sulaiman bin Abdullah yang wafat pada tahun 1211 M. Setelah merebut Lamuri, kerajaan Aceh menundukkan sekaligus menyatukan kerajaan sekitar seperti Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur. Pada tahun 1524, kerajaan Samudera Pasai berhasil direbut Aceh. Pada tahun yang sama, Portugis berusaha merebut Aceh, namun dapat diusir Aceh dengan mudah, sehingga mereka kembali ke markas Portugis di Malaka. 

Ketika Malaka di bawah kekuasaan Portugis, banyak pedagang Islam dari Malaka yang pindah ke Aceh. Kapal-kapal dari Asia Selatan tidak lagi singgah di Malaka, karena pemerintah Portugis di Malaka menjalankan monopoli, dan memungut bea pajak dan cukai yang cukup tinggi. Akhirnya kapal-kapal dagang dari berbagai wilayah mulai mengubah jalur pelayarannya, tidak lagi singgah di Malaka tetapi di Aceh. Setelah singgah di Aceh, mereka terus berlayar menyusuri pantai barat Sumatra, masuk Selat Sunda, kemudian singgah di Banten. Situasi tersebut menguntungkan Aceh. Para pedagang Islam tidak mau berdagang dengan orang-orang Portugis. Akhirnya orang-orang Islam memusatkan kegiatan pelayaran dan perdagangannya di Aceh. Setelah kuat dan maju, Aceh akhirnya berhasil melepaskan diri dari Pedir, dan berdiri sebagai kerajaan. 

Aceh berkembang pesat di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah. Ada beberapa faktor yang mendorong Aceh berkembang pesat antara lain sebagai berikut: 

  1. Secara geografis letak Aceh sangat strategis. Aceh terletak di pintu gerbang pelayaran dari India dan negara-negara Arab yang akan berlayar dan berdagang ke Malaka, Cina, atau Jawa.
  2. Aceh memiliki pelabuhan Olele yang memenuhi persyaratan kenyamanan dan keamanan untuk kegiatan berdagang. Kenyaman dan keamanan ini dikarenakan pelabuhan Olele terlindung oleh Pulau We, sehingga terhindar dari ombak yang besar. 
  3. Aceh merupakan daerah yang kaya akan hasil lada. Lada adalah komoditi yang sangat laku di pasaran internasional. 
  4. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan banyak pedagang muslim yang memindahkan aktivitas dagangnya dari Malaka ke Aceh. Pada tahun 1515 Aceh menyerang Portugis di Malaka, tetapi tidak berhasil. Usaha itu diulangi pada tahun 1529, tetapi juga belum berhasil. Kegagalan-kegagalan ini disebabkan armada Aceh waktu itu belum begitu kuat. Walaupun Aceh mendapat bantuan dari Demak, namun belum berhasil mengalahkan Portugis. Sekalipun demikian, semangat patriotisme dan anti terhadap kekuasaan asing, tidak pernah luntur dari jiwa orang-orang Aceh. 

Tahun 1530, Sultan Ali Mughayat Syah wafat. Ia digantikan oleh putranya yang bemama Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528-1537 M. Sultan ini kurang mewarisi kecakapan ayahnya. Ia digantikan oleh adiknya bernama Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Sultan Alauddin Ri'ayat Syah memerintah pada tahun 1537-1568 M. Ia merupakan raja yang cerdik, gagah berani, dan bercita-cita tinggi. Sultan Alauddin Ri'ayat Syah berusaha mengembangkan kerajaannya, meningkatkan perekonomian, dan memperluas wilayah. Untuk mencapai cita-cita itu, hubungan dagang dan politik dengan luar negeri dipererat. Negara-negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Aceh antara lain, Mesir, Turki, Arab, India, dan Cina. Sesuai dengan cita-citanya untuk menguasai wilayah yang luas, Aceh menduduki Sumatra sebelah barat sampai Bengkulen (Bengkulu) dan Sumatra Sebelah timur sampai Danau Toba. 

Pada pertengahan abad ke-16, Aceh menduduki daerah-daerah di Semenanjung Malaka. Karena kegagahan dan keberhasilannya menguasai wilayah-wilayah yang luas tersebut, Sultan Alauddin Ri'ayat Syah diberi celar Al-Qahhar, artinya yang gagah perkasa. Setelah merasa kuat, Aceh kembali ingin menyerang Malaka. Untuk kepentingan ini Aceh mengirim utusan ke Turki guna minta bantuan persenjataan. Waktu itu Turki hanya dapat mengirim dua kapal dan lima ratus orang ahli perang beserta persenjataannya. Bantuan dari Turki datang pada tahun 1566 dan 1567. Pada ahun 1568 M Aceh melancarkan serangan kepada Portugis di Malaka. Portugis kewalahan, namun masih mampu bertahan. Serangan Aceh kali ini juga belum membuahkan hasil. Tahun 1568 Sultan Alauddin Ri'ayat Syah wafat, dan digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Husin (1568-1575 M). Setelah itu berturut-turut yang menjadi raja adalah Sultan Alauddin Mansyur Syah (1577-1586 M), Raja Buyung (1586-1588 M), dan Sidi Al-Mukamil. Sidi Al-Mukamil bergelar Sultan Alauddin Ri'ayat Syah (1588-1604 M). 


Sultan Sidi Al-Mukamil dikenal sebagai sultan yang sangat alim dan halus budi bahasanya. Pada masa pemerintahannya hidup seorang laksamana dan pahlawan wanita, Laksamana Malahayati. Karena sultan sudah tua, maka tahta kerajaan diserahkan kepada putranya, yaitu Sultan Kuasa Muda yang bergelar Sultan Ali Ri'ayat Syah (1604-1607 M). Tahun 1585 Portugis melancarkan serangan terhadap Aceh. Serangan ini dipimpin oleh Jorge Temudo, Jorge Homes, dan Don Joao Ribeiro Gaio. Serangan Portugis dapat dimentahkan oleh tentara Aceh. Tahun 1607, Sultan Ali Ri'ayat Syah digantikan Darmawangsa Tun Pangkat. Ia bergelar Sultan Iskandar Muda dan memerintah tahun 1607-1636 M. Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, Aceh mencapai zaman keemasan. Untuk mendesak kekuasaan Portugis di Malaka, Iskandar Muda memperluas daerah kekuasaannya ke Johor, Kedah, Perlak, Pahang, Bintan, Nias dan Deli. Untuk melindungi dan memberikan keamanan bagi kegiatan pelayaran dan perdagangan di seluruh wilayah Kerajaan Aceh, armada angkatan laut terus diperkuat dan ditingkatkan. Sementara itu duta-duta Aceh dikirim ke 'negara-negara sahabat. Bahkan, pengiriman duta ini sampai ke Inggris. Hal itu semua untuk mencari dukungan bagi Aceh dalam upaya menandingi musuh-musuhnya, terutama Portugis di Malaka. Tahun 1629 M, Aceh di bawah pemerintahan Iskandar Muda mencoba kembali menyerang Malaka. Serangan ini lagi-lagi belum berhasil. 

Iskandar Muda digantikan oleh menantunya yang bemama Iskandar Tsani. Ia memerintah pada tahun 1636-1641 M. Dasar-dasar kuat yang diletakkan Iskandar Muda, menyebabkan kebesaran Aceh dapat terus berlangsung di bawah pemerintahan Iskandar Tsani. Tahun 1641, Iskandar Tsani digantikan oleh permaisurinya/putri Iskandar Muda, Sultanah Sri Ratu Safiatuddin tajul Alama (1641-1675 M). Sejak saat itu pemerintahan Aceh mulai mundur, karena permaisuri dan pengganti-penggantinya kurang mampu menghadapi kelicikan VOC dan tidak memahami seluk-beluk politik di sekitar Selat Malaka, sehingga setelah VOC dapat merebut Malaka (1641), maka VOC mulai mempersulit pelayaran dan perdagangan Aceh. Pada akhir abad ke-17 Aceh kehilangan kedudukannya sebagai pusat perdagangan dan kekuatan politik.

Tidak ada komentar