Header Ads

Buku SKI

Kerajaan Makasar (1592-1669 M)

Pembawa agama Islam ke Sulawesi Selatan yang terkenal adalah Dato' ri Bandang dan Sulaiman. Pada tahun 1605 M, keduanya berhasil mengislamkan para pejabat tinggi kerajaan. Kraeng Matoaya yang menjadi Raja Gowa, diangkat sebagai Raja Makasar dan setelah masuk Islam bergelar Sultan Alaudin. Ia memerintah pada tahun 1593-1639 M. Sedangkan Raja Tallo diangkat sebagai mangkubumi dengan gelar Sultan Abdullah.

Kerajaan Makasar mencapai puncak kejayaan pada abad ke-17, yaitu di bawah kekuasaan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), yang memerintah pada tahun 1639 -1653 M. Dalam masa pemerintahannya, Makasar berkembang menjadi kerajaan maritim yang besar. Kekuasaannya hampir meliputi seluruh kawasan timur Nusantara. Pada masa itu, agama Islam celah menjadi agama resmi kerajaan. Dengan demikian hubungan antara ekspansi politik dengan islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan dinamika yang berlangsung di kawasan timur, khususnya upaya kerajaan Gowa-Tallo dalam ekspansi politik ke Kerajaan Bima pada abad XVII. 


Peranan Makasar sebagai pusat perdagangan dan bandar niaga menjadi lebih besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan Makasar, tidak hanya disinggahi kapal-kapal dan para pedagang dari Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Eropa. Sejalan dengan itu, abad ke 17 merupakan saat di mana kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Utara Pulau Jawa mengalami kemunduran dan keruntuhan satu persatu. Kondisi itu merupakan kesempatan dan peluang bagi Kerajaan Gowa untuk mengembangkan diri menjadi pusat penyiaran agama Islam dan pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara. 

Tahun 1653, Sultan Malikussaid digantikan oleh putranya bernama Hasanuddin. Ia memerintah pada tahun 1653-1669 M. Hasanuddin terus melanjutkan usaha yang dilakukan oleh ayahnya. Pada masa pemerintahan Hasanuddin, Kerajaan Makasar terus mempertahankan kejayaannya. Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC. Karena kebaraniannya, Hasanuddin terkenal dengan sebutan Ayam Jantan dari Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Makasar terus meluas. Pulau-pulau di sebelah selatan dapat ditaklukkan. Kerajaan Bone juga dapat dikuasai. Kebesaran Kerajaan Makasar ternyata tidak dapat dipertahankan. Karena di Makasar sedang ada perselisihan antara Aru Palaka, seorang pangeran dari Kerajaan Bone/Suku Bugis dengan Kerajaan Makasar/Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. 

Dalam peperangan besar antara Sultan Hasanuddin dengan Aru Palaka Yang saat itu dibantu oleh tentara VOC yang dipimpin oleh Kapten Cornelis Speelman, ternyata Sultan Hasanuddin mengalami kekalahan dan dipaksa untuk menandatangani sebuah perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1669 M, kelak disebut sebagai Perjanjian Bongaya. Perjanjian bongaya sangat merugikan Sultan Hassanuddin dan rakyat Makasar. Adapun Isi Perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut: 

  1. VOC menguasai monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. 
  2. Makasar harus melepas seluruh daerah bawahannya, seperti Sopeng, Luwu, Wajo, dan Bone.
  3. Aru Palaka dikukuhkan sebagai Raja Bone. 
  4. Makasar harus menyerahkan seluruh benteng-bentengnya. 

Perjanjian Bongaya sangat merugikan rakyat Indonesia, khususnya Makasar dan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanuddin dan Aru Palaka telah menghancurkan persatuan rakyat di Makasar. Dari sini dapat diambil hikmah pelajaran, sebagai sesorang pemimpin harus mempunyai visi yang luas ke depan dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang asing untuk berperang/berselisih dengan saudara sendiri. Perjanjian Bongaya ini adalah sebuah saksi bisu dimana politik adu domba asing berhasil merusak persatuan.

Tidak ada komentar