Sunan Ampel (w. 1491 M)
Sunan Ampel adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan. Menurut Babad Tanah Jawi, di masa kecilnya Sunan Ampel dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Sunan Ampel datang ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama adiknya Sayid Ali Murtadho. Sebelum sampai di Jawa, beliau singgah dulu di Palembang pada tahun 1440 M. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia berlabuh ke Gresik. Setelah itu meneruskan perjalanan ke Majapahit untuk menemui bibinya seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bernama Prabu Sri Kertawijaya.
Setelah menetap di Jawa, Sunan Ampel kemudian menikah dengan putri adipati Tuban. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai beberapa putra putri, antara lain Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Ampel Denta merupakan daerah rawa yang dihadiahkan raja Majapahit kepadanya. Di tempat inilah, beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren yang disebut sebagai pesantren Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Sunan Ampel mengajak partisipasi masyarakat sekitar untuk mendirikan pesantren tersebut. Pada pertengahan abad ke-15 M, pesantren Ampel Denta menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat berpengaruh di Wilayah Nusantara, bahkan ke manca Negara. Di antara pemuda yang dididik di pesantrennya tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden patah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), dan Syarifuddin (Sunan Drajat). Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Patah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 M bersama wali-wali lainnya.
Pada awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji, dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Dia pula yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Istilah ini sarat dengan makna moral yang sangat dalam yang hingga kini masih dipertahankan dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1491 M, dan dimakamkan di sebelah barat masjid Ampel, Surabaya.
Post a Comment