Proses Pemilihan Abu Bakar As-Siddiq sebagai Khalifah (11-13 H/632-634 M)
Nabi Muhammad saw. wafat pada hari Senin,
12 Rabiul Awal tahun 11 H. Namun, masalah siapa yang akan menjadi penggantinya,
masih menjadi perdebatan di kalangan para sahabat, sebab tak ada pesan apa pun
dari beliau perihal siapa yang akan dijadikan sebagai khalifah dan mekanisme
apa yang harus ditempuh para sahabat dan umat Islam untuk memilih pengganti
beliau, karena itu terjadi perselisihan paham antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Ketika mendapat kabar Rasulullah saw. wafat, kaum Anshar langsung mengadakan
musyawarah di Balai Bani Saidah, yaitu, tempat sidang dan musyawarah yang biasa
digunakan oleh keluarga besar Suku Khazraj. Musyawarah dipimpin langsung oleh
tokoh Anshar, yaitu Sa'ad bin Ubadah. Sementara itu, kaum Muhajirin berkumpul
di rumah Aisyah dan di sekitar Masjid Nabawi, sedang mempersiapkan acara
pemakaman Nabi Muhammad saw.
Mendengar berita tentang musyawarah di
Balai Bani Saidah, kaum Muhajirin bersepakat mengutus tiga orang perwakilannya,
yaitu: Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Ketiga tokoh Muhajirin itu pun bergegas datang ke Balai Bani Saidah.
Sesampainya di sana, mereka sempat mendengarkan bagian terakhir dari pidato
Sa'ad bin Ubadah. Saat itu, Sa'ad berkata, “Wahai kaum Anshar, kalian semua
adalah orang-orang yang terdahulu di dalam agama dan termulia di dalam Islam.
Sebuah kemuliaan yang tidak dimiliki kabilah Arab lainnya. Muhammad saw. telah
menetap selama belasan tahun di lingkungan kaumnya, berdakwah supaya mereka
menyembah dan mengesakan Allah, serta meninggalkan berhala. Namun, hanya
sedikit yang mau beriman hingga mereka tidak mampu menjamin keselamatan
Rasulullah saw., tidak mampu mengembangkan agama, dan bahkan tidak mampu
membela diri mereka sendiri. Allah telah menganugerahkan rahmat, nikmat,
kemuliaan, dan kehormatan kepada kalian. Sehingga, kalian beriman kepada-Nya
dan Rasul-Nya. Kalian mampu membela Rasul-Nya dan para sahabatnya, memuliakan
dan mengembangkan agamanya, serta berjuang menentang musuh-musuhnya. Kalian
bersikap tegas kepada musuhmusuhnya, hingga bangsa Arab tunduk kepada agama
Allah. Allah telah memberkahi bumi tempat kediaman kalian ini. Dengan pedang
kalian itulah bangsa Arab berhasil ditundukkan. Sekarang Allah telah memanggil
Rasul-Nya, sedang beliau rela menjadikan kalian sebagai buah hatinya. Namun,
kaum Muhajirin bermaksud merebut tampuk kepemimpinan dari kalian. Ketahuilah,
pimpinan itu adalah hak kalian, bukan hak siapa pun di luar kalian.”
Demikian bagian terakhir pidato Sa'ad yang
didengar oleh Abu Bakar. Umar, dan Abu Ubaidah. Umar bin Khattab tidak mampu
menahan diri dan ingin bergegas maju ke depan untuk menangkis pidato tersebut.
Namun hal itu berhasil dicegah oleh Abu Bakar As-Siddiq. Dengan sikap yang
tenang, Abu Bakar maju ke depan. Setelah memuji Allah dan Rasul-Nya, dia
memberikan penjelasan bahwa sangat banyak sekali jasa-jasa kaum Anshar, baik
bagi pengembangan agama Islam maupun bagi kaum Muhajirin. Abu Bakar berkata,
“Wahai kaum Anshar, tidak ada seorang pun yang bisa membantah kemuliaan kalian
dalam agama. Kalianlah yang terdahulu di dalam Islam. Allah telah memanggil
kalian dengan sebutan para penolong (Al-Anshar), baik bagi agama maupun
Rasul-Nya. Demikian pula Rasul saw. telah berhijrah ke tempat kalian. Sehingga,
istri-istri dan para sahabatnya bisa hidup di lingkungan kalian. Setelah
Muhajirin, tidak ada yang mempunyai kedudukan sama selain kalian. Ketahuilah
bahwa kami adalah penguasa (umara) dan kalian adalah para menterinya (wazir).
Kalian adalah tempat berlindung dan tidak ada suatu keputusan pun tanpa
kalian.”
Ketenangannya dalam sikap dan bicara bak
angin segar dalam suasana yang panas. Musyawarah pun dilanjutkan. Masing-masing
pihak mengemukakan pendapatnya tentang siapa yang lebih berhak menggantikan
kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Sementara juru bicara kaum Muhajirin adalah Abu
Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah, sedangkan juru bicara kaum Anshar adalah Sa'ad
bin Ubadah, Habbab bin Mundzir, dan Basyir bin Sa'ad. Habbab bin Mundzir
berkata, “... Janganlah kalian berbeda pendapat hingga kedudukan kalian
melemah. Jika mereka tidak mau menerima kenyataan ini, maka jalan satu-satunya
adalah kami punya penguasa dan kamu juga punya penguasa.” Umar bin Khattab
menyanggah, “Tidak mungkin ada dua penguasa berada dalam satu tanduk. Sungguh
Allah tidak akan rela jika kalian yang memegang kekuasaan sementara Rasul saw.
bukan dari lingkungan kalian. Bangsa Arab sendiri akan mudah menerima pemimpin
yang Rasulnya berasal dari lingkungannya."
Melihat belum ada tanda-tanda akan mencapai
titik temu, Abu Ubaidah bin Jarrah berkata, “Sahabat-sahabatku dari kalangan
Anshar! Kalian semua adalah pihak yang pertama-tama menyokong dan membantu.
Janganlah kalian juga menjadi pihak yang pertama-tama berubah dan berganti
pendirian!” Tertegun sejenak dengan perkataan Abu Ubaidah, Basyir bin Sa'ad
berseru, “Bukankah Nabi Muhammad saw. itu berasal dari suku besar Quraisy?!
Maka kaumnyalah yang lebih berhak dan layak memegang kepemimpinan. Demi Allah,
saya sendiri tidak akan membantah hal itu. Marilah kita bertakwa kepada-Nya dan
janganlah masing-masing di antara kita saling berbantahan dan bermusuhan.” Bak
hujan di tengah gurun, suasana musyawarah terasa kembali segar setelah
mendengar perkataan Basyir. Sungguh sebuah pendirian yang terpuji dari seorang
tokoh utama suku Khazraj.
Suasana yang baik itu dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh Abu Bakar As-Siddiq. Dia pun maju ke depan sembari berkata,
“Sekarang, marilah kita pusatkan perhatian kita kepada Umar bin Khattab dan Abu
Ubaidah bin Jarrah. Silahkan kalian memilih salah satu di antara kedua tokoh
tersebut!” Mendengar seruan Abu Bakar, Basyir bin Sa'ad dan Abu Ubaidah bin
Jarrah spontan berteriak, “Mana mungkin hal itu akan kami lakukan! Demi Allah,
kami tidak akan menyerahkan pimpinan kecuali kepadamu. Kamulah tokoh termulia
dalam kaum Muhajirin. Kamulah orang kedua dari dua orang (tsani al-istnaian)
yang berada di Gua Tsur. Dan kamulah pengganti Nabi Muhammad saw. untuk menjadi
imam salat. Ketahuilah bahwa salat adalah sendi agama yang paling utama.
Lantas, siapakah yang mampu membelakangimu dan siapakah yang lebih layak
darimu? Angkatlah tanganmu dan kami akan membaiat dirimu!” Setelah itu, Basyir
bin Sa'ad dan Abu Ubaidah bin Jarrah maju ke depan. Keduanya memegang tangan
Abu Bakar sambil mengucapkan baiat. Yang demikian diikuti oleh Umar bin Khattab
dan tokoh-tokoh besar Anshar lainnya.
Selesai pembaiatan di Balai Bani Saidah,
Abu Bakar diarak menuju Masjid Nabawi. Di sana, Abu Bakar kembali dibaiat di
depan umum. Sehingga, sah lah Abu Bakar sebagai khalifah pertama, pengganti
kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Selasa malam Rabu (menjelang waktu isya'),
setelah proses pemakaman Nabi Muhammad saw. selesai, Abu Bakar As-Siddiq naik
ke atas mimbar Masjid Nabawi untuk menyampaikan khutbah pertamanya sebagai
seorang khalifah. Berikut ini khutbah singkat sang khalifah:
“Wahai saudara-saudaraku sekalian! Aku
telah diangkat untuk menjadi pemimpin kalian. Padahal aku bukanlah yang terbaik
di antara kalian. Maka, jika aku melakukan kebaikan, dukunglah! Sebaliknya,
jika aku melakukan kejahatan, luruskanlah diriku! Kebenaran adalah sebuah
amanat. Dan kebohongan adalah sebuah perbuatan khianat. Yang terlemah di antara
kalian akan kuanggap sebagai yang terkuat hingga aku berhasil mengambil dan
mengembalikan haknya. Yang terkuat di antara kalian akan kuanggap sebagai yang
terlemah hingga aku berhasil mengambil hak si lemah dari tangannya. Janganlah
seorang pun di antara kalian meninggalkan jihad. Sebab kaum yang meninggalkan
jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah swt. Patuhilah diriku selama aku
patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila aku durhaka terhadap Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk patuh terhadap diriku.
Sekarang, marilah kita menunaikan salat. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada
kalian semua.”
Demikianlah sekilas tentang proses
peralihan kepemimpinan dari Nabi Muhammad saw. kepada Khalifah Abu Bakar
As-Siddiq.
Post a Comment